Bab [17] Marah

13.8K 1.9K 81
                                    

"Jadi kalian harus paham, apa itu unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah puisi... bukan hanya taunya bikin puisi buat pacar!" jelas Bu July yang langsung disambut riuh seisi kelas.

Tak begitu dengan Nina, dan Tiwi yang sedari tadi menyabotasenya dengan beragam pertanyaan.

"Wali kelas ada nanyain gue nggak, Nin?"

Nina mengangguk tanpa suara. Entah untuk ke berapa kalinya. Meski dengan tampang kecut, tetap saja Tiwi seolah tak memedulikan kekesalan Nina.

Mengenai kejadian semalam, Nina menutup rapat bibirnya, tak mengeluarkan satupun pertanyaan. Meski isi kepalanya meronta, dipenuhi banyak pertanyaan.

"Aga-" sudut mata Nina berkedut saat Tiwi menggumamkan nama itu, fokusnya dari papan tulis mendadak buyar. "Bener kata lo, dia diam-diam baik, perhatian."

Nina menelengkan kepalanya perlahan. "Hm. Kenapa... lo kepikiran buat kabur ke kost Aga?" tanya Nina ragu-ragu. "Lo bisa datang ke rumah gue-"

"Dan pastinya langsung di tendang nyokap lo. Terus kemarin-kemarin Mama gue langsung nyariin ke rumah lo kan? Di tempat Aga gue aman. At least, gue bisa liat mereka kocar-kacir nyariin gue." Ada kilat senang dari mata Tiwi.

Nina menghela napas, sambil sesekali memperhatikan ke depan. "Terus kalian tidur satu ruangan?" Nina tak lagi bisa menahan rasa penasarannya.

Tiwi tersenyum tipis, ikut mengarahkan pandangannya ke papan tulis. Tak menjawab secara gamblang pertanyaan Nina.

"Lo nggak takut? Bukannya waktu itu lo yang bilang ke gue buat jaga diri dari Aga?" jantung Nina berdebar. Seorang laki-laki dan perempuan bermalam dalam satu ruangan? Walau tak ingin tetap saja pikirannya sudah merambat kemana-mana. Apalagi mengingat adegan kemarin.

Tiwi malah mengendikkan bahu. "Sayangnya nggak terjadi apa-apa sama gue."

Ada sedikit perasaan lega, namun tetap tak mengusir risau di hati Nina. "Terus kenapa lo cium Aga?" pertanyaan kali ini terdengar menuntut, Nina seperti terlempar ke beberapa tahun yang lalu, saat dia selalu menghalau teman lainnya untuk berdekatan dengan Aga.

"Just, ucapan terima kasih. Sekaligus buat kenangan. Gue sih berharapnya itu first kiss-nya Ganesh. Nin, lo beneran bakal bantuin gue jadian sama Ganesh kan?" tanya Tiwi menaikkan alisnya.

Nina mendadak lemas. Adakah alasan lain yang bisa diungkapkannya untuk menolak permintaan Tiwi kali ini? Tapi apa? Ditengah denyut jantungnya yang memacu cepat, Nina mengangguk perlahan.

"By the way. Gue semakin kagum sama Ganesh. Dia bisa jaga rahasia. Buktinya dia nggak bocorin di mana gue ke lo kan. Kalo nggak karena si kunyuk Charles, nyesel gue bukain pintu kemarin itu."

Kali ini Nina sepertinya butuh apa pun untuk menyumpal telinganya.

Saat Tiwi hendak berucap lagi, Nina langsung menimpali, "Gue bawa kue, buat lo." Biar bagaimana, ini sudah jadi tradisi bagi Nina, untuk membagi apa pun yang dia punya ke teman satu-satunya itu.

"Di rumah lo ada perayaan?"

Nina mengangguk. "Lo nggak inget hari ini tanggal berapa?" dan biasanya, Tiwi tak pernah lupa mengirim pesan tepat di jam dua belas malam.

Kening Tiwi berkerut. Dia melihat tanggal di jam tangan digital miliknya. "Sweet seventeen lo?" Tiwi memekik tertahan sebelum menepuk kepalanya. "Sori... gue kebanyakan masalah di rumah. Ntar sore, gue ke rumah lo ya."

"Hm."

"Kalo bisa gue ajak Ganesh."

"Jangan!"

After We Don't Talk AnymoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang