Aga memberhentikan motornya. Nina menekan keras pundaknya sebelum berhasil turun.
"Lo serius mau les kan? Nggak akan mangkir bolos kan?" pertanyaan ke sekian kalinya yang didengar Aga. Sepanjang perjalanan tadi Nina terus mengoceh, bertanya banyak hal, yang tak satu pun dijawab Aga.
Apalagi pertanyaan, kenapa sekarang dia berubah? Kenapa tak patuh lagi seperti dulu?
Keputusannya untuk berbaikan dengan seorang Karanina Lubis sepertinya memang salah. Nina benar-benar mengganggu, dari dulu hingga detik ini.
Cewek itu menyerahkan jaket, juga helm ke Aga. "Thank's," gumamnya.
"Kenapa muka lo gitu?" Nina menyipit. Tak suka dengan ekspresi datar Aga. "Gue-kan tanya baik-baik." Sebagian dari diri Nina masih merasa was-was, takutnya Aga kembali menjadi Aga yang menyeramkan di matanya.
Bulan-bulan terakhir sebelum menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar, benar-benar menjadi hari-hari yang mencekam bagi Nina. Temannya, tumpuan satu-satunya, menjadi begitu jauh karena ulahnya. Aga berubah menjadi orang yang tak dikenali Nina lagi.
"Tanya baik-baik, sama interogasi itu beda," sahut Aga yang kemudian berdecak.
Nina mengerucutkan bibir, dan naik ke lantai halte. Ditatapnya Aga sepersekian detik. Sepertinya cowok itu tak akan suka rela menungguinya. Jadi, daripada mengharap terlalu jauh Nina memundurkan langkah, duduk di tempat yang tersedia.
Aga masih berdiri di samping motornya. Melirik ke kanan kirinya, sebelum memutuskan bergabung dengan Nina, duduk dengan jarak yang lumayan.
'Tadi, lo sengaja duduk sebelah gue, begitu udah gue maafin, lo jauhin gue lagi." Nina bergumam, mengalihkan pandangan ke arah jalanan. "Kalo nggak mikir itu elo, mungkin selamanya gue nggak bakal maafin cowok yang udah bilang gue murahan."
Kini mata Nina mengarah ke flat shoes yang dikenakannya. Menggoyang-goyangkan kakinya.
"Mana minta maafnya kayak nggak niat gitu,"gumam Nina.
Aga melirik Nina. Untuk alasannya yang tiba-tiba terbawa emosi mungkin memang hal yang konyol. Tapi dia punya alasan utama untuk membenci wanita yang memilih kembali ke pria masa lalunya. Bayangan itu mengakar, sulit diredam amarah apabila kembali terkenang, sementara Nina tak seharusnya menjadi korban kekalutannya kala itu.
"Gue tarik lagi deh. Gue nggak jadi maafin lo."
"Memang bisa gitu?"
Nina menggeram dalam hati, akhirnya Aga membuka suara.
"Bisa aja," tukas Nina mencebik. "Gue terlanjur sakit hati."
"Apa kabar gue?"
Nina mendengus saat menoleh ke Aga, tampangnya tampak sangat kesal.
Aga malah mengambil kotak saktinya. Delikan mata Nina berubah sinis.
"Gue nggak mau jadi perokok pasif!" ketusnya langsung.
Tak menghiraukan, Aga malah memainkan pemantiknya.
Nina menegakkan tubuhnya.
Aga menarik sudut bibirnya saat membuka tutup pemantiknya, dengan sengaja menggoda Nina.
Sedetik kemudian Nina sudah berada di sebelahnya dan memukuli tubuhnya dengan tas selempang, isinya memang tak banyak. Aga menjadikan lengan sebagai tamengnya. Ditambah Nina mulai mencoba menggapai jemari Aga yang menggenggam sebatang rokok.
Nina berseru girang saat berhasil meraih batang rokok dari tangan Aga dan membuangnya.
"Lo ganti!"
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Don't Talk Anymore
Teen FictionKaranina Lubis baru saja di selingkuhi sang pacar, Endru. Sikapnya yang biasa-biasa saja, membuat sang sahabat, Tiwi, geram. Setiap hari Nina mulai direcoki dengan acara pembalasan dendam yang dirancang matang oleh Tiwi. Beragam cowok most wanted se...