Bad [12] Insting

13.4K 2K 65
                                    

Begitu mobil Papi melaju Nina langsung melangkahkan kakinya cepat ke parkiran motor. Jika gosip dia dan Aga pacaran sudah santer terdengar maka kali ini beberapa pasang mata yang selalu menaruh minat kepo untuk segala aktifitas Nina semakin memandangnya sinis.

Ganjen, kecentilan, sok cakep. Nina bisa membaca jelas isi pikiran cewek-cewek itu saat dia mendekati Aga.

Aga sendiri sudah melihat Nina berjalan ke arahnya. Apakah harinya akan berubah buruk setelah ini, mengingat Nina yang selalu mengomel dan merengek di waktu bersamaan. Bukan menghindar mengikuti logika Aga malah berdiam memegang helm di atas jok. Cuplikan-cuplikan tawa Nina saat masih berseragam putih-merah tertampil bak slide show di benaknya. Aga tak bisa memungkiri, Nina satu dari sedikit orang yang menciptakan kenangan indah di hidupnya.

"Udah sarapan?" tanya Nina mendongak dengan gaya biasa, tidak antipati seperti beberapa hari sebelumnya.

Aga mengangguk, sedikit berbohong, tak yakin dengan secuil roti yang dimakannya tadi adalah bentuk sarapan pagi yang semestinya.

Mengurus terlebih dahulu helm kesayangannya, Aga berbalik. Nina menjejeri langkahnya. "Lo sempat bilang ke gue nggak sempat ambil duit di rumah. Memangnya sekarang lo tinggal di mana?"

Aga menaikkan alisnya enggan menoleh ke Nina. "Kepo ya?" ledeknya datar. Hari ini dia terlalu malas membahas apa pun, setelah semalam dia mangkir dari janji dan memilih berdiam di kamar kost dengan TV menyala.

"Lo kayak nggak semangat gitu ngomongnya. Males ketemu gue ya?"

Sensitif sekali. Aga kali ini menoleh. "Hm, memang."

Nina mengerucutkan bibirnya. "Ya udah sana jauh-jauh dari gue."

"Kan lo duluan yang deketin."

Wajah Nina semakin tertekuk. Aga mengamati dengan menyimpan senyum, meski andai Nina teliti mata Aga tak bisa menutupi kilat gembira itu. Seperti menemukan oase ditengah padang tandus. Berlebihan. Namun, cukup dengan seorang Nina dia merasa sedikit diperhatikan.

"Padahal gue tadi malem--" didapati Aga Nina tiba-tiba menepuk jidat. "Mati gue, Ga."

"Apaan?" tanya Aga menautkan alisnya.

Cewek itu tak menjawab dan malah merogoh saku juga mengubek isi tas. "Tadi malem gue inget keluarin dompet." Katanya sambil menunduk. "Kan waktu kita nggak temenan dulu foto lo gue singkirin, terus semalem gue cari-cari lagi. Ketemu. Gue masukin lagi dalam dompet. Dan... beneran ketinggalan." Nina mendadak muram. "Mami kasih uang saku seminggu sekali, dan tadi Papi nggak ada kasih lebih," gumamnya.

Aga terpana. Bagaimana bisa Nina masih mengingat hal-hal konyol semacam itu. Dulu, sewaktu kelas empat, saat teman sekelasnya demam buku diary, Nina ikut-ikutan, membeli buku diary yang menurutnya paling bagus di toko stationary yang disinggahinya dengan Papi. Nina yang gengsi menolak meminta biodata teman yang lain, akhirnya hanya menulis lengkap biodata Aga. Aga juga dipaksa-paksa bertukar foto. Hal yang memalukan bagi Aga namun tetap dilakukannya.

Aga menelan ludah. Selalu terlibat pada situasi masa lalu dengan Nina memang membawa nyeri lain di ulu hatinya. "Terus masalahnya?"

"Ya gue nggak bawa duit jajan Aga... gimana sih?"

"Nanti gue yang jajanin."

Nina mendongak, "memang lo punya duit? Kemarin aja minjem," sahut Nina polos.

Nina benar-benar berpikir seperti itu? Dasar. "Ada duit gue. Tenang aja. Lo mau makan sepuluh mangkuk bakso pun gue bayarin." Aga mengangkat dagu sombing. "Lo nggak percaya gue ada duit?" gerutu Aga melihat Nina yang menyipitkan pandangannya.

After We Don't Talk AnymoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang