Bad [6] First Date

18.5K 2.5K 31
                                    

"Kenapa kok mukanya bingung gitu?"

Papi menyadarkan Nina dari tampang celingukan. "Um. Nggak kenapa-kenapa Pi," sahut cepat Nina menyalim tangan Papi dan mengecup kedua pipinya. Sebagai anak tunggal dari Papinya yang bekerja di kantor pusat Pegadaian dengan jabatan lumayan, Nina selalu mendapat kasih sayang berlebih. Untungnya, Papinya tidak se-diktator Mami, bahkan cenderung membela jika Nina mulai di salahkan.

Dulu sekali, Nina sering merajuk, dan apa pun keinginannya akan terturuti, tapi belakangan sifatnya itu berkurang. Lagian tidak ada saingan juga. Terakhir, dia bingung menjawab ingin hadiah apa untuk ulang tahunnya ke enam belas nanti. Semua terasa tak menarik lagi di mata Nina, terkecuali Maminya membebaskannya bermain keluar dengan teman-teman seusianya.

"Sayang," panggil Papinya lagi. "Nggak turun."

"Eh, iya." Nina menggaruk-garuk kepalanya. "Ada hapalan pagi ini. Barusan Nina lagi ngapal kok, Pi. Bukan melamun," elaknya tak beralasan.

Nina baru akan membuka pintu mobil, sebelum Papinya menyerahkan dua lembar uang berwarna merah. "Ditabung aja, tapi jangan bilang-bilang ke Mami." Papinya mengedipkan mata.

Senyum semringah langsung menghiasi wajah Nina. Dia mengecup pipi Papinya sekali lagi sebelum keluar dari mobil.

Oke, setidaknya ada hal yang menyenangkan pagi ini. Meski jantungnya tetap berdentum tak tenang. Apalagi kalau bukan karena cowok itu. Cowok yang tadi malam meminta nomor teleponnya dan tentu saja diabaikan oleh Nina.

Hari ini adalah lusa yang dijanjikan Aga, semoga tidak kesampaian. Kemarin harinya cukup aman. Semoga cowok itu melupakan rencana, mungkin lebih tepatnya akal bulusnya.

Langkah Nina selamat sampai di kelas, tak ada gangguan berarti. Tiwi masuk tak lama kemudian dengan tampang jutek.

"Kenapa?" tanya Nina langsung.

Tiwi menggeleng. "Pengin kabur aja bawaannya. Di rumah berisik banget."

Alis Nina terangkat, sedikit banyak dia memahami maksud ucapan Tiwi. Paling orang tuanya ribut lagi. Entahlah. Dia juga tak pernah berani bertanya lebih dulu, jika bukan Tiwi yang mulai bercerita.

"Sial, mana muka gue lagi kusut," decak Tiwi kemudian merapikan rambutnya.

Dahi Nina semakin berkerut, bingung, sebelum sosok itu tiba-tiba masuk.

"Hai pacar," katanya dengan tersenyum jumawa.

Bola mata Nina hampir keluar dari sarangnya. Tiwi yang sekilas melihat interaksi si Putih dengan Nina langsung beranjak dari kursinya keluar kelas.

Tanpa tedeng aling-aling Aga duduk di kursi milik Tiwi. "Lo nggak bawa bekel? Gue laper."

Nina berdecak pelan menjaga pandangannya dari sekeliling. Ini memalukan. Oke, ini bukan pertama kali ada cowok yang menemuinya, dulu Endru yang melakukannya, tapi Endru jelas jauh lebih sopan dari pada Aga.

"Lo kira gue anak SD," jawab Nina ketus.

"Gue pikir dari SD sampe SMA lo tetep bawa bekel," sahut Aga masih terlihat santai. Dia mengeluarkan ponselnya. "Nomor lo, ketik di sini."

"Buat apaan?"

"Mana ada orang pacaran nggak tau nomor telepon," balas Aga cepat.

"Lo bisa ngomong pelan dikit nggak?" desis Nina menatap Aga tajam.

Cowok itu malah terkekeh. Memajukan tubuhnya, membuat Nina mundur teratur. "Minta, nomor lo," katanya berbisik nyaris tak terdengar, dengan gaya meledek.

Dagu Nina terangkat naik. "Keliatan kan lo yang ngejar-ngejar gue."

Aga mengedipkan sebelah matanya. "Kok tau?"

After We Don't Talk AnymoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang