Sudah tiga hari Tiwi tak masuk. Pesan Nina juga tak dibalasnya. Jika hari ini tak masuk, berarti resmi empat hari. Bagaimana jika Tiwi mendapat surat dari sekolah? Nina bertambah gusar, memikirkan bagaimana jika Tiwi yang tak satu sekolah lagi dengannya.
Mengenai Aga, Nina berusaha melepaskan segala pemikiran tentang cowok itu. Meski sulit luar biasa. Kata-kata cowok itu seperti permen karet yang melekat erat di otaknya. Sayangnya, ketika kejadian itu terulang di benak, Nina seolah berada dititik buruk itu lagi. Saat Aga terang-terangan berkata kasar, bukan hanya dengus sebal yang sering dia tampilkan.
Jangan sedih. Jangan sedih. Aga cuma anak kemarin sore yang harusnya tak berarti apa-apa dihidupnya. Namun, nyatanya kebalikan. Cowok itu cukup berarti di hidupnya.
Satu per satu derap langkah murid yang masuk menjadi perhatian Nina. Secuek apa pun Nina terhadap sekeliling, dia tetap butuh teman.
Tak lama sosok Tiwi muncul. Seketika itu Nina menegakkan tubuhnya.
"Wi lo kemana aja!" seru Nina yang langsung menarik lengan Tiwi begitu cewek itu mendekat ke meja.
Tiwi melepas tas ranselnya. Dan tersenyum tipis.
"Udah tiga hari tanpa kabar," imbuh Nina.
Tiwi menyisir-nyisir rambutnya dengan jari. "Hari ini tampilan gue nggak banget ya?"
Nina enggan menyahut.
"Nyokap gue minggat. Gue jaga adik gue di rumah." Nina memandang lurus, adik Tiwi baru berusia lima tahun, jarak mereka memang cukup jauh. "Lo enak ya nggak pernah ada huru hara gitu di rumah. Gue sih udah capek. Berantem, minggat, balik lagi. Kalo mau pergi kenapa balik lagi coba?"
Nina masih memandang wajah lelah Tiwi. Mencoba menasehati? Agaknya dia tidak cocok. "Nggak juga. Gue juga sering liat Papi Mami adu mulut." Dan itu karena Nina. "Memang nggak sampe minggat dari rumah sih." Nina yang tadinya duduk menyamping menghadap Tiwi menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Sama aja kali Wi, lo kalo ada diposisi gue juga males. Stress," imbuh Nina.
"Mereka kok egois ya?"
Nina mengendikkan bahu.
"Jadi lo sama Ganesh gimana?" Tiwi tiba-tiba mengubah topik pembicaraan. "Masih sama?"
Kening Nina berkerut dalam, wajahnya berubah kecut. "Gue males denger nama dia."
"Berantem?"
"Bukan gue yang mulai. Itu cowok yang kelewatan. Nggak ada angin nggak ada ujan bilang gue murahan. Gila kan?"
"Memang lo buat salah apaan?"
Nina menghela napas berat. Bel berbunyi. Dia menceritakan sekilas sebelum guru mata pelajaran pertama masuk.
"Jadi, perjanjian kalian bubar jalan?" bisik Tiwi.
Nina mengendik. "Yang jelas gue nggak mau berurusan sama dia lagi."
Tiwi menganggukkan kepalanya tanda setuju. "yang penting si Endru udah tunjukin aksi. Benar apa kata gue, keliatan dia jadian sama Icha cuma mau panas-panasin lo. Tapi sayangnya lo nggak kepancing. Giliran lo sama cowok lain, dia yang kebakar," kata Tiwi puas dengan analisanya.
Mungkin memang begitu. Dan Nina sudah harus menutup buku untuk persoalan pacar-pacaran ini. Meski hal lain masih menyisakan sesak di dadanya. Cowok itu, bahkan tak berinisiatif untuk meminta maaf.
***
Kelas ditutup dengan mengumpulkan latihan harian. Nina menggigit bibir bawahnya. Hasinya pasti tidak baik. Dia menjawab asal-asalan. Dan diakhir nanti, dia harus mencari alasan bagus ke Maminya kalau tidak mau Mami dengan serampangan menyalahkan tempat kursus bahasa inggris yang telah dibayarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Don't Talk Anymore
Dla nastolatkówKaranina Lubis baru saja di selingkuhi sang pacar, Endru. Sikapnya yang biasa-biasa saja, membuat sang sahabat, Tiwi, geram. Setiap hari Nina mulai direcoki dengan acara pembalasan dendam yang dirancang matang oleh Tiwi. Beragam cowok most wanted se...