"Liat ke gue." Nina tersentak dengan mulut sedikit terbuka. Sejak kapan cowok ini di sebelahnya. "Senyum," titah Aga lagi.
Nina malah terbengong. "Lo jarang korek kuping ya? Senyum gue bilang." Nina berdecak atas sindiran Aga. Perlahan senyum kaku terbit di wajahnya. "Kalo kayak gitu lo keliatan lebih manusiawi."
"Jadi maksud lo selama ini gue bukan manusia-"
"Dempet ke gue." Potong Aga cepat. "Jalannya rada dempetan dikit biar keliatan nggak palsu."
Nina menahan gondok setengah mati. Langkahnya maju dan agak mendekat ke Aga. Saat melirik Aga tersenyum. Manis. Nina mengenyahkan pikiran konyolnya, sekalipun seantero siswa di sekolah ini menganggapnya tampan, tapi Nina tetap tak akan tertarik. Tak pernah lagi!
"Itu kan anaknya? Yang naik CBR hitam?" Ujung mata Nina langsung melirik ke arah parkiran. Sekilas tampak Endru juga menjuruskan pandangan ke arahnya. "Kayak orang dungu gitu," cibir Aga.
Kontan saja Nina melirik sebal. "Memang situ oke?"
"Ya jelas lah gue lebih oke," sahut Aga mengendikkan bahu.
Serta merta Nina menggelengkan kepalanya. Selain berubah semena-mena Aga juga banyak bicara sekarang. Dia jelas berubah 180 derajat dari yang Nina kenal dulu. "Lo berubah banyak ya," gumam Nina tanpa sadar.
"Kalo bisa ganti nama, gue ganti nama."
Sahutan Aga membuat kening Nina berlipat dalam. "Cuma perkara sekecil itu?" Nina tiba-tiba menarik lengan Aga menghentikan langkahnya. "Gue bakal ganti."
"Apa yang mau lo ganti?"
"Ya-"
"Lo mau datang ke bokap gue dan bilang sebenernya?" tantang Aga.
Cengkraman tangan Nina perlahan terlepas. "Lo beneran nggak bisa maafin gue?" kata Nina mendadak terdengar lirih.
Aga mendecak lidah dan mengalihkan pandangannya. Cewek dan segala wajah polos yang selalu sukses bikin sudut hatinya tak tenang. Dia tak menanggapi dan kembali melangkah. "Kalo mau gue anter sampe depan kelas, jalannya buruan," kata Aga melirik Nina yang dua langkah dibelakangnya.
Cewek itu dengan wajah tertekuk mengikuti langkah Aga.
***
Murid kelas X IPA 1 langsung memelesat keluar begitu bel berbunyi. Hanya Nina yang celingukan dan akhirnya memilih memainkan ponselnya. Bermain Candy Crush ditengah situasi kelas kosong ternyata tak menarik sama sekali. Perasaannya memburuk karena percakapannya dengan Aga tadi pagi, ditambah dengan ketidakhadiran Tiwi tanpa kabar. Nina sempat menghubungi tapi nomor yang dituju malah tidak aktif.
Ah, sudahlah lupakan! Aga hanya melebih-lebihkan, batin Nina.
Nina kembali membuka perpesanan ponselnya. Dan perhatiannya terhenti pada pesan Aksa. Dia kembali memutar ingatannya. Entah untuk ke berapa kali. Bagaimana bisa dia berada dalam situasi ter-oon sepanjang sejarah hidupnya? Cuma duduk kikuk, hingga rasanya pantatnya kebas karena tak bergeser sedikitpun. Lirik sekilas lalu kembali jaim. Aksa membuat seorang Karanina Lubis mati gaya. Padahal biasanya Nina diam bukan karena malu, sungkan, apalagi takut, dia hanya terbiasa diam jika tak ingin mendapat banyak pertanyaan dari orang disekeliling, berbeda dengan situasi yang dialaminya kemarin.
Parah! Batin Nina memekik. Harusnya dia bisa seluwes berbicara seolah berbicara dengan Om Iko. Tapi Aksa bukan Om Iko. Tapi dia teman Om Iko, orang yang jauh lebih tua di atasnya. Benang kusut di pikiran Nina sulit terselamatkan. Akhirnya dia memilih beranjak dari kursi membawa langkahnya entah ke kantin sekolah. Persetan dengan ada atau tidak ada Tiwi. Bodo amat jika banyak pasang mata yang menyorotinya dari ujung rambut hingga ujung sepatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Don't Talk Anymore
Novela JuvenilKaranina Lubis baru saja di selingkuhi sang pacar, Endru. Sikapnya yang biasa-biasa saja, membuat sang sahabat, Tiwi, geram. Setiap hari Nina mulai direcoki dengan acara pembalasan dendam yang dirancang matang oleh Tiwi. Beragam cowok most wanted se...