Pacar itu hanyalah teman rasa mesra yang akan putus juga.
Setidaknya, bagi seorang Anessa Firgiansyah.
Menurutnya, pacar tak lebih dari teman amat akrab yang akan lewat. Kalian bertukar sapa, saling mencinta, keributan terjadi. Skala besar-tidaknya keributan itu sendiri bergantung pada emosi dan situasi. Bila datang bosan, muak dan lelah, akhirnya berpisah.
Persetan dengan pacaran.
Oleh sebab itu, Nessa tak sudi lagi berpacaran. Kalau jodoh datang, ya datang saja. Tinggal menikah. Sesederhana itu.
Untuk apa punya suami? Toh, ada apa-apa juga, aku selalu sendiri. Di usia 25, aku sudah mandiri. Pekerjaanku sebagai fashion designer dan Wedding Organizer cukup mumpuni.
Cukup ironis. Di satu sisi, pekerjaannya adalah penyelenggara upacara yang digadang-gadang paling suci dan sakral. Pasangan yang akan menikah biasanya bersuka-cita. Mereka menghabiskan dana sebagai penanda hari bahagia.
Akan tetapi, kenyataan yang Nessa lihat, banyak orang yang menikah malah berakhir tidak bahagia. Ia menyaksikan orang-orang di sekitar, maupun yang lalu-lalang diberitakan media elektronik, penuh tangis dan drama.
Mungkin karena ekspektasi pernikahan mereka keliru, mereka pikir menikah pasti akan bahagia. Bahwa menikah adalah solusi bahagia manusia.
Nessa pikir yang berpikir seperti itu, pasti mengambil jalan pintas untuk bahagia. Takaran kebahagiaan tidak bisa semata didasarkan pada pernikahan. Karena itulah, Nessa tak bisa membayangkan bagaimana nanti jika dirinya yang menikah.
Duh, lelaki saja nggak ada!
Kok, bisa tidak ada? Padahal selalu saja ada lelaki yang meliriknya!
Nessa berpaling dari semua lirikan mata yang tertuju padanya. Selalu menghindar ketika ada yang menghampiri. Tidak peduli ada yang berkomentar, bukankah setiap orang menginginkan ada yang bilang, aku cinta padamu?
Setidaknya, bagi kebanyakan perempuan.
Hah! Nessa memutar bola mata. Romansa macam itu berlakunya di kalangan pecinta roman picisan atau ABG.
Ironis lagi, kan. Dia bukan pecinta romansa, tapi pekerjaannya sebagai Wedding Organizer tak terelakkan bergulat di ranah sana. Lebih kontra lagi, Nessa piawai dalam merancang pernikahan yang memenuhi harapan para pasangan.
Bergelimang romantisme, menampilkan hal-hal kecil yang ada selama kedua sejoli saling mencinta, menyesuaikan dengan konsep yang diminta. Kalau sudah begini, biasanya pasangan bakal banjir airmata dan saling mengucap cinta.
Oh, indahnya.
Coba saja kalau momen-momen romansa macam itu selalu langgeng, pikir Nessa tatkala menyaksikan ketika pasangan saling bertengkar dan akhirnya malah berpisah.
Ah, sudahlah.
Persetan pacaran dan pernikahan.
Sayang, sikapnya ini selalu saja ditentang dan membuah masalah. Ralat, selalu saja dibuat masalah.
Lamunan Nessa dipecahkan oleh sentakan sang ibunda yang cempreng sampai-sampai semua benda pecah-belah di rumah bisa-bisa ikut pecah.
"Kau bilang apa?! Masih muda? Astaga, Nessa ... kamu sudah dua puluh lima tahun! Mau sampai kapan menyendiri terus, hah?!"
Nessa memandang ibunya, seolah mereka tengah terlibat obrolan tentang pelajaran yang membosankan. Balas menatap sepasang mata yang membelalak marah, seolah sang ibunda berwajah pra-sejarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Indeed
RomanceAnessa Firgiansyah, di usia yang telah dikejar-kejar untuk segera berumah tangga oleh orang tuanya, tidak lagi percaya cinta sejak kejadian di masa lalu yang membuatnya trauma. Hanafi Adelard, ternyata dia hanya dijadikan batu loncatan agar seorang...