Edan!

153 35 24
                                    

"Tadi pagi dia sehat-sehat aja, kok. Kenapa bisa dehidrasi dan pingsan, sih?"

Papa.

Suara cemas ayahnya mengusik Nessa.

Sayup-mayup suara-suara menelusup ke dalam kegelapan, mengetuk kesadaran Nessa yang melayang-layang.

"Mungkin maag-nya kambuh juga kali. Lagian kan dia memang nyiapin pesta Deana, pasti kecapekan banget sebulanan ini, tapi baru kerasa tadi. Apalagi kan dia kepanasan barusan, nggak sarapan, dan sama sekali belum minum seharian," terdengar embusan napas panjang Ibu, juga elusan lembut di rambutnya, "duh, tambah kurus aja ini anakku."

"Jangan-jangan kamu ngehamilin dia, ya, Nafi?" ada suara wanita paruh baya lain yang selembut ibunya, tapi bernada menuduh yang tersisip canda.

"Mama ngomong kok sembarangan gitu, sih!" kali ini suara protes pria muda. "Mama nggak denger tadi aku diledekin temen-temen karena cemen banget gak mau nonton Blue film?"

"Ya kalau nggak, terus ngapain pake acara nutupin pacaran kalian dari keluarga terus tahu-tahu udah tunangan? Dikira kalian nih anak ABG apa, sok-sok mau kasih kejutan sama keluarga? Kalau memang udah mantep, ya jangan ragu-ragu! Tunggu apa lagi? Kamu lelaki, harus ambil langkah tegas."

Nessa tahu suara pria yang bernada lembut tapi kharismatik, itu milik ayahnya Nafi.

Coba saja telinga bisa diprogram untuk memblok omongan-omongan yang orangnya tidak mau dengar.
Dia setengah berharap semua kejadian konyol yang tadi terjadi cuma mimpi. Ada baiknya ia berpura-pura saja untuk mati. Namun di luar kendali, ia malah mengerang pelan dan membuka mata dengan setengah hati.

Nafi yang berdiri di sisi kiri ranjang, memanggilnya perlahan, "Nessa?"

Nella turut merapat ke kaki tempat tidur IGD. "Calon istrimu udah bangun, Naf?"

"Ya Tuhan. Puji syukur anakku akhirnya siuman," Irania terisak lega.

Ya Tuhan, kukira aku mendadak mati, tapi mungkin lebih baik mati daripada terbangun dan mengetahui peristiwa konyol tadi bukan mimpi.
Nessa samar-samar di sela vertigonya menatapi siapa saja yang kini tengah menatapnya.

"Ini di rumah sakit. Aku bawa kamu ke IGD, soalnya kan panik banget tadi liat kamu pingsan. Mana kamu dehidrasi dan maag kambuh," terang Nafi, membantu Nessa yang pandangannya berkunang-kunang dan setengah mengerang untuk duduk. Menepuk-nepuk punggung wanita itu yang berpegangan di lengannya.

"Tapi tadi aku gak sakit perut sama sekali," bela Nessa dengan suara lemah.

"Ya kata dokter gitu. Nggak ngerti juga itu diagnosa dari mana, tapi kan yang ngerti dokter." Nafi menepuk-nepuk punggung tangan kiri Nessa.

"Umph!" Nessa menangkup mulut dengan tangan kanan. Rasa mual menerjangnya berkali-kali lipat karena dunia terasa berputar-putar dengan mengerikan di ruang pandangnya.

"Nah, kan. Bener kata dokter yang meriksa barusan. Maag kamu kambuh." Nafi mengelusi punggung Nessa yang terbalut jas miliknya, sengaja ia pakaikan saat dalam perjalanan menuju rumah sakit terdekat.

"Astaga, Nafi! Kamu jangan-jangan beneran ngehamilin anak orang lagi makanya kebelet nikah!" damprat Nella.

Nafi menoleh begitu cepat, sampai terdengar bunyi gemertak memilukan dari lehernya. "Mama, ini Nessa lagi sakit beneran juga!"

"Iya, memang tadi dari rumah Nessa berangkat duluan karena ngurus nikahan, jadi gak sempet sarapan atau minum buat ganjel perut dulu," Bram menambahkan, memandang kasihan pada Nafi yang kelihatan panik bukan main.

Love IndeedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang