Tepat pukul 06.30 WIB.
Nafi nyaris mati berdiri di depan pintu ini, tapi itulah yang ia lakukan dengan membunyikan bel setengah jam lebih awal sebelum garis mati.
Jakun naik-turun. Tangan berkeringat dingin. Pening tujuh keliling. Telinganya bahkan terasa lebih tajam dari biasanya. Seakan meneror seluruh indera. Bunyi orang sibuk membuka kunci dan gerendel pintu, ibarat ayunan martil yang akan menghantamnya untuk jatuh ke tempat eksekusi.
Rahangnya mengeras menahan gugup, sehingga hanya senyum kaku yang bisa ia tampilkan. Mudah-mudahan saja kantung mata yang menghitam tak terlihat begitu jelas.
Nafi pikir dia akan langsung kena tampar begitu pintu dibuka, alih-alih seraut wajah cantik menenteramkan menyapa ruang pandangnya.
Sayang itu malah melipatgandakan kegugupan yang ia rasakan. Sensasi semacam perut melilit, usus terpuntir, paru-paru mogok menyerap oksigen. Nyeri di pangkal dada. Menyergap pada diri. Nafi menahan napas.
"Pagi, Nessa."
Nafi merasakan kepegalan luar biasa saat berusaha tersenyum. Uh, ia pasti kelihatan seperti robot. Atau seperti orang yang hasratnya sudah di ujung tanduk, terpaksa menggedor pintu, minta menumpang ke toilet tetangga antah-berantah.
Padahal pakaian Nessa sederhana saja. Kemeja putih dan blue-jeans pas badan. Tidak ada pulasan perona atau apa pun di wajah. Hanya saja, wangi segar menyergap penciuman Nafi yang menggodanya untuk mabuk kepayang dalam sekali pandang.
"Pagi banget." Nessa membuka pintu apartemennya, aroma khas orang tengah memasak menguar sampai keluar. "Udah sarapan?"
Nafi membeku di depan pintu.
Boro-boro sarapan. Dari dua hari terakhir gagal menjelaskan pada keluarga saja, sudah mengamblaskan nafsu makannya sama sekali. Apalagi sejak tahu Nessa meminta untuk bertemu pagi ini."Masuk, yuk." Mengetahui Nafi datang sepagi ini pasti belum isi perut sama sekali, Nessa mempersilakannya untuk masuk. "Kita sarapan dulu."
"Kamu ... ngebolehin aku masuk?" Nafi membelalak, tak percaya.
Alis Nessa bertautan. "Terus kamu mau bengong aja gitu depan pintu?"
Nafi lupa dengan segala kegugupannya dan memandang kaget Nessa."Basically, kita tuh belum kenal satu sama lain. Kamu nggak takut aku bakal ngapa-ngapain kamu?"
Aduh, diri ini. Masa IQ mendadak sejongkok bebek begini. Hanafi Adelard lelaki baik-baik yang klasik, meski ia tidak yakin bakal tahan diri kalau Nessa merasa tidak apa-apa digoda.
Deana aja nganggep aku culun karena nggak mau bobo ena sama dia, nyoba sebelum nikah! Pake acara ngomong, takut ya kalau aku nggak jago—cih.
Nafi mendadak putus asa sendiri mengingat mantan sialannya itu.
"Ngapain takut diapa-apain?" Nessa yang merasa gerah ditatapi dengan lamunan dan sorot wajah muram Nafi itu, memutar bola mata. "Kan kamu bakal jadi suami aku."
Nafi nyaris meleleh—sebentar!
Nafi lebih ingin menjambak rambut sendiri. Harusnya ia yang membuat Nessa meleleh karenanya, bukan sebaliknya!"Memang kamu mau berbuat jahat sama aku?" tanya Nessa.
"Ya, nggak, lah! Aku bukan kriminal—"
"Ya, udah. Ayo masuk! Siapa juga mau merkosa kamu, sih." Nessa melenggang meninggalkan pintu dengan elegan, membiarkan pintu tetap terbuka.
Nessa melangkah menuju ke dapur.
Baru sampai ke meja makan, dia menoleh ke belakang, menghentikan langkah. Nyaris menyaksikan buliran keringat dingin mengalir di sisi wajah Nafi dari tempatnya berdiri. Nafi, bukannya segera masuk malah membeku di tempat sambil menatapi lantai keramik pintu apartemen dengan wajah tegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Indeed
RomanceAnessa Firgiansyah, di usia yang telah dikejar-kejar untuk segera berumah tangga oleh orang tuanya, tidak lagi percaya cinta sejak kejadian di masa lalu yang membuatnya trauma. Hanafi Adelard, ternyata dia hanya dijadikan batu loncatan agar seorang...