Menerima

158 31 28
                                    

Aroma kopi dan teh berseliweran di ruangan yang sejuk oleh embusan AC. Wangi roti baru matang. Dengung percakapan. Denting peralatan makan dan coffee-maker. Sepintas angin panas dari luar kafe, terseret masuk ke dalam, melebur dengan harum buah segar di atas krim manis kue-kue yang ada di balik display. Menetralisir wangi perabot meja dan kursi mahoni berpelitur mengkilat, serpihan kapur dari tulisan menu, juga pengharum ruangan sintetis.

"... jadi kamu bakal nikah?"

Percakapan mereka berpindah. Tidak nyaman tetap di kantor, apalagi dengan telinga-telinga yang pandai menguping dari balik dinding. Toh, ketiganya pemilik WO, bisa mangkir sedikit, karena mereka sedang luang. Tidak ada yang perlu dikerjakan tergesa-gesa.

Ada dua pernikahan yang tengah WO mereka urus. Namun yang satu baru tahap menghubungi vendor yang cocok dengan pernikahan tema Cina, satu lagi dalam masa negosiasi untuk menyewa lokasi yang cocok demi resepsi unik bertema pool party.

Nessa berdeham sekilas, menutup penjelasannya dari kegilaan kejadian dengan berkata, "Iya, aku jadi nikah sama Nafi."

"Kamu pasrah aja, nggak nolak sama sekali?" tanya Riri gemas. "Memangnya bisa langsung jatuh cinta gitu aja terus mutusin buat nikah? Sa, kamu gak bisa sembarangan soal beginian. Kamu bakal jadi istri, lo. Harusnya ini perkara seumur hidup."

Nessa menyanggah, "Kalau iya memang seumur hidup, harusnya nggak ada pasangan yang cerai, dong."

"Astaga, masa kamu mau nikah terus cerai aja gitu?" Riri mengurut lagi pangkal hidungnya. Seolah kepalanya telah berpindah pada area itu.

"Sebenarnya, apa, sih, pertimbangan kamu sebenarnya, sampe kamu bereaksi kayak tadi?" tanya Ninda hati-hati.

Nessa terdiam agak lama. Menoleh ke arah pelataran parkir dari balik dinding kaca bening, menekuni langit yang mencuat dari balik gedung-gedung pencakarnya. Langit biru agak berawan, tak beda jauh dari yang ia lihat di London .

"Aku tahu. Nyenengin orang tua aja gak cukup, karena yang ngejalanin pernikahan aku," ujar Nessa lamat-lamat.

"Terus kenapa?" tanya Riri lagi. "Nafinya juga udah ngaku-ngaku aja kalian ada hubungan."

"Nafi emang alay, nakal, dan nyebelin, tapi dia mungkin nggak akan menyakiti." Sudut-sudut mulut Nessa melekuk lembut. "Orang yang udah disakiti, sebisa mungkin nggak akan menyakiti, karena dia ngerti rasanya sakit hati karena disakiti orang lain."

"Nggak ada jaminan kalian nggak bakal saling nyakitin hati satu sama lain nantinya," sanggah Ninda.

"Kalau aku jatuh cinta, justru aku kayak ngasih senjata sama dia buat nyakitin aku nantinya dengan serangan 100%."
Nessa mengangguk-angguk pada diri sendiri, diikuti dengan anggukan menyetujui kedua sahabatnya.

Telunjuk bercat kuku merah muda cantik. Sedikit berkilau terpercik sinar matahari dari luar dinding kaca. Beberapa kali mengetuk muka meja. Nessa menghela napas pendek.

"Tapi bener juga, bisa aja dia nyakitin hati aku entah karena apa. Kemungkinan itu sekitar 20%. Itu berarti, hati aku nerima rasa sakit dalam persentase 20%, dan ini berarti masih mayoritas kekuatan hatiku yang ada adalah 80%, aku masih kuat banget.

"Coba pikir. Orang nggak bakal ngerasa sakit hati, jika mereka bisa menguasai dan mengendalikan hati sendiri. Kan ada ungkapan "dia tidak ambil hati atas cemoohan pengejeknya" atau semacamnya gitu, ya? Berarti perasaan itu bisa dikendalikan. Manusia bisa menjadi tuan untuk hati mereka sendiri.

"Jadi kalian jangan khawatir, aku nggak akan ngebiarin hatiku apalagi diriku sendiri disakitin sama Nafi atau siapa pun lagi." Nessa menyungging senyum hangat pada kedua sahabat kesayangannya, yang tampak tidak puas akan semua penjelasan dan penerimaan ini.

Love IndeedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang