The Most Beautiful

111 25 23
                                    


Mati aku, tuh. Mati kutu gimana gitu.

Begitu pikir Nafi yang merasa payah karena tidak bisa membangun percakapan. Selalu saja Nessa yang memulai. Mungkin karena tadi Nessa tanya, apa dia selalu secerewet itu. Aduh, dia kan jadi berasa dapat poin minus, dan benar-benar gagal modus.

Nafi sudah menyetel musik. Cara ampuh untuk membunuh kesunyian yang terasa canggung. Radio mulai kebanyakan iklan, dan Nafi sesekali menganggukkan kepala mendengarkan melodi. Bersiul pelan.
Sesekali Nafi melirik ke samping pada Nessa yang tenang memerhatikan jalanan.

Wajah Nessa tersimbah cahaya matahari yang terbit dari Timur, mempertegas struktur wajah yang sanggup membuat pria waras manapun termimpi-mimpi karenanya. Ia baru sadar, Nessa sedikit menyipit.

Nafi akhirnya mengerti. “Silau, ya?”

Nessa menyentuh AC, suhunya cukup menyejukkan. Apalagi untuk udara ibukota yang tidak pernah ramah. “Enggak, sih. Biasa aja.”

“Bukan itu.” Nafi menunjuk ke arah laci di depan Nessa. “Buka aja itu laci dashboard. Ada kacamata. Kamu pake, gih, ya? Sekalian tolong ambilin buat aku?”

Nessa membukanya. Ada beberapa kacamata di sana. Stylish, dari yang lensanya hitam, coklat marun, merah marun, gradasi juga ada. Frame dan gagangnya bergaya fleksibel yang bisa dipakai baik perempuan maupun lelaki.

“Mmm ... kamu punya banyak cengdem juga.” Nessa mencoba satu per satu yang sesuai seleranya.

Nafi menoleh sepintas padanya. “Cengdem?”

“Kacamata Goceng Adem,” jawab Nessa kalem. 

Nafi baru mau tanya apa kacamatanya kelihatan semacam kacamata yang berharga lima ribuan, tapi niat bertanya langsung luruh entah kemana begitu ia mendapati Nessa tampak elegan dengan kacamata gradasi merah dan coklat marun.

Apalagi pas Nessa menoleh padanya. Itu kunciran rambut, ikal yang melingkar, terayun anggun. Terlihat lucu. Mati aku. Nafi meratapi nasib mendapat anugerah seindah ini.
Akhirnya, telah tiba waktunya untuk Nafi mensyukuri ia dicampakkan oleh Deana.  

“Nih, kamu pake yang ini aja.”

Nafi tersendat napasnya ketika Nessa sedikit menghadap ke arahnya, jemari lentik—yang amat cantik karena ada cincin darinya berkilauan di jari manis—memakaikan kacamata hitam gradasi ke putih berlensa lebar padanya. 

“Astaga, Nessa.”
Nafi nyaris membenturkan dahinya ke setir sekarang juga. Untung saja mobil yang ia kendarai tidak oleng karena Deg-momen ... lagi.

“Hm?” Mana yang bersangkutan cuma menoleh dengan wajah tenang, seakan ia sesuci bayi baru lahir.

Nafi berusaha menenangkan diri dengan menghirup napas dalam, mengembuskan perlahan. Astaga, dia tetap tidak merasa tenang. Setelah adegan memakaikan kacamata serasa adegan ciuman dihari pertama. “Kalau kita kecelakaan sebelum nikahan, bakal jadi tragedi.”

“Siapa yang tadi bilang kita mesti adaptasi sama keberadaan satu sama lain?” Nessa mendenguskan tawanya.

Nafi bungkam. Dia tahu, berargumen apa pun di bagian ini, tetap tidak akan menang dari Nessa. Dia mencatat dalam benak, calon istrinya punya ingatan yang tajam meskipun hanya sekali pandang dan dengar.

Jarang sekali ada orang yang bisa seperti itu di masa ini. Mungkin Nessa seseorang yang sangat cerdas.
Namun kalau mengingat latar belakangnya, apalagi di usia semuda ini, WO garapannya dengan ketiga temannya sangatlah sukses, ditambah informasi Ninda bahwa ia saja sampai lari minta bantuan ke Nessa, pastilah dia seseorang yang pintar.

Love IndeedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang