Biasanya, jika orang yang kita cinta bahagia, maka kita ikut berbahagia.
Atau begitulah yang bisa dideskripsi oleh sastra, karena Nafi tidak merasakan hal yang sama.Mungkin karena sebenarnya, masih ada keegoisan dalam diri ini. Wajar saja, siapa tidak ingin berbahagia bersama orang yang dicinta?
Namun, yang sesungguhnya diinginkan ialah ingin orang yang dicinta bahagia dengannya dan karenanya.
Jauh-jauh hari sejak sebelum datang ke pesta, Nafi menghitung hari. Menjalaninya seumpama memang tidak pernah ada cinta di antara dia dan Deana, dan ia seharusnya tidak merasa bagai tawanan menanti vonis mati.
Tak ada lagi yang ia lakukan selain menghindari. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati. Sejatinya, datang ke pesta pernikahan mantan kekasih, ini tidak lebih daripada menyakiti.
Kalau bukan karena ayahnya berteman dengan ayah Deana, kalau keluarga tidak menyeret agar datang ke sini, Nafi tidak sudi menjejakkan kaki ke pesta bertaburkan ukiran hati.
Karena bukan ia yang ada di altar pelaminan mendampingi sang mempelai wanita.
Jika bukan karena ayah yang berhari-hari rutin memberikan wejangan, Nak, putusnya kalian bukan salah kamu. Itu maunya Deana, ‘kan? Datang, hadapilah, lepaskan dia. Papa sama Mama yakin, Tuhan menyiapkan seseorang yang jauh lebih baik untuk anak kami yang baik hatinya ini. Bagus sekarang kamu dicampakkan Deana, daripada nanti begitu ketahuan buruknya.
Deana dengan gaun pengantin dan wajah cerah, ratu di hari ini, terlihat cantik, sih. Sayang, sekarang cantiknya dengan gaun pengantin terasa seperti bisa.
Deana tidak akan pernah merasa sial, karena Nafi gagal melingkarkan cincin bertahtakan sebutir berlian otentik di jari manisnya. Cincin yang kini tersimpan di saku jasnya, yang entah untuk apa ia bawa.
Hari ini saja. Sepeninggalnya ia dari pesta yang berbahagia di atas deritanya, Nafi akan tertawa lega dan membuang ganjalan terakhir yang merantainya dari segala duka.
Mungkin memang cincin indah ini, yang indahnya karena penuh dengan perasaaan dan isi hati Nafi, tidak layak disematkan jemari yang kurang lentik dan takkan membuat tangan pemakainya tambah cantik.
Mungkin nanti, akan ada jemari lentik wanita yang akan terlihat cantik memakai cincin ini.
“Haaah ... Kapan Mama bisa ikutan duduk di altar sama kamu yang berdiri didampingi seorang lelaki, ya?”
“Kapan-kapan juga boleh, Ma.”
Daripada mendengar wewejang Papa yang membuat telinga pengang dan hati makin terguncang, Nafi melayangkan pandangan pada sebuah keluarga tak jauh dari keluarganya.
Seorang wanita yang kelihatan di pertengahan usia dua puluhan, tengah memutar bola mata, dan pria yang tampaknya adalah sang ayah terlihat menahan senyuman karena reaksi sang putri.
Wanita itu mengenakan Sheath Dress bermodel off the shoulder dengan bahan silk poly satin, bagian kain velvet biru ke ungu yang terlihat selembut beludru membalut tubuh rampingnya. Jam tangan abu-abu melingkar di pergelangan tangan kiri. Rambut coklat panjang berombak terurai sepundak.
High-heels dengan taburan berlian artifisial, pula berhiaskan bunga-bunga, menyangga kaki-kaki jenjang dan mulus. Bahu tegap. Pandangan dari sepasang mata cahaya bergulir ke sana ke mari. Riasan wajah natural yang serasi dengan tema pernikahan hari ini.
Sesaat mata terpejam, kemudian terbuka kembali. Ketika seutas senyum kecil terukir di bibir wanita itu, Nafi terdiam melihatnya. Seolah benar-benar bahagia dengan semua yang ada di sekitar mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Indeed
RomanceAnessa Firgiansyah, di usia yang telah dikejar-kejar untuk segera berumah tangga oleh orang tuanya, tidak lagi percaya cinta sejak kejadian di masa lalu yang membuatnya trauma. Hanafi Adelard, ternyata dia hanya dijadikan batu loncatan agar seorang...