Percakapan mereka tidak berhenti sampai di sana saja.
Nafi dibuat duduk mendengarkan percakapan profesional ketiga wanita itu. Tentang konsep pernikahan yang diinginkan. Karena dia tidak mengerti, Nafi menyerahkan keputusan pada Nessa. Termasuk dengan selembar kartu ATM.
"Buat apa, nih?" Nessa mematut kartu itu dengan kecurigaan. "Aku belum jadi istri kamu, dan gak sudi disawer."
"Astaga. Maksudku gak gitu." Nafi merana dalam batinnya.
Ini calon istri kok bisa berekspresi kayak bunglon. Sebentar dingin, galak, manis, cantik, sudah kayak paket lengkap segala ada.
Nessa memicingkan mata, seraya memiringkan kepala. "Jadi?"
Ngegemesin banget, tapi kalau jujur sama dia, cuma kutang aku aja yang bakal pulang nanti. Nafi mencoba mempertahankan tatapannya dengan Nessa. "Buat biaya nikahan kita."
Riri menatap seolah tengah melaknat si kartu tak berdosa. "Ada saldonya nggak, tuh? Kartu kredit lagi."
"Ada, kok. Itu salah satu tabunganku." Nafi mengusap ujung-ujung jarinya yang kian mendingin. "Kalau kurang, bilang aja."
Riri melototi Nafi sekejam ibu-ibu tiri di sinetron. "Ya ampun, selain nyebelin, kamu ternyata sombong banget."
"Bukan gitu maksudku," erang Nafi frustrasi.
"Kamu gak mau patungan sama keluarga dan Nessa?" tanya Ninda kaget.
Lumrahi saja, karena ini kali pertama ada pengantin pria yang bilang mau membayar semua biaya pernikahan sendiri. Sebenarnya keren sekali. Bahkan anak pejabat saja, paling tidak, minta bantuan keluarganya untuk membayar.
"O-oh iya." Nafi menoleh pada Nessa yang tengah mengamati tanda tangannya di atas kartu ATM. "Kamu gak apa-apa kalau semuanya aku yang tanggung?"
"Oke." Kartu ATM itu kini terselip di jemari lentik, dengan cat kuku peach yang berkilauan terkena cahaya lampu di atas kepala mereka. "Nanti aku cek saldo, mudah-mudahan gak ngelewatin biaya di sini."
"Sa, kamu kok ngeokein?" protes Riri.
"Yang ngaku tunangan? Nafi. Yang bukan ngejelasin malah ngelanjutin kesalahpahaman? Nafi. Yang mau tanggung jawab? Nafi." Nada final itu membungkam Riri untuk berunjuk rasa.
Nessa dengan santai memainkan kartu ATM itu di antara jarinya, melirik Nafi. "Kamu mau nikahan kita kayak gimana?"
Apa memang gini ya rasanya punya calon istri seorang WO? Hati Nafi berdesir karena Nessa bertanya dengan wajah tampak jinak, walau Nafi sudah mengerti sosok lain Nessa yang bisa kelihatan sangat galak.
Nafi berpikir sejenak. Teringat pernikahan si mantan, Nafi menggelengkan kepala pada diri sendiri."Tempatnya indoor. Kalau bisa, yang ada banyak tempat duduknya dan nyaman. Soalnya, banyak orang tua usia sepuh, dari kerabat dan keluarga besarku yang pasti diundang dateng sama Papa-Mama.
"Makanannya enak, biar yang dateng pada seneng. Souvenirnya sederhana, tapi yang bisa bermanfaat buat tamu undangan. Terakhir, paling band pengiring dengan kualitas musik yang bagus."
Ninda yang telah merekam semua itu di Iphone-nya, pun menambahkan catatan khusus sendiri ke buku kecilnya. "Terus kue, foto pre-wed, seragam keluarga, baju pengantin, dan lain-lain?"
"Itu ... aku percayain sama kamu, ya? Kalau butuh apa-apa, langsung bilang aku aja." Nafi menepuk punggung tangan Nessa sekilas.
"Oke." Nessa mengangguk. Mengangkat tangan kiri, lalu memandangi arloji. "Udahan, yuk. Bentar lagi jam buka kantor Swan WO."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Indeed
RomanceAnessa Firgiansyah, di usia yang telah dikejar-kejar untuk segera berumah tangga oleh orang tuanya, tidak lagi percaya cinta sejak kejadian di masa lalu yang membuatnya trauma. Hanafi Adelard, ternyata dia hanya dijadikan batu loncatan agar seorang...