Sayang

127 21 41
                                    

“Kamu sering makan di sini, Nessa?”
Nafi bertanya setelah ia menelan suapan terakhirnya. Memang perpaduan sambel terasi  ulek, lalapan, ayam bakar, dan nasi putih hangat, itu benar-benar juara. Apalagi rasa makanan di tempat ini dan suasananya yang nyaman.

“Baru beberapa kali, sih. Enak, gak?” Nessa menjeda, memapar selada di atas tangan, mengoleskan sambel di atasnya, menaruh sejumput nasi dan suwiran ayam penyet, lalu menyuap dengan antusias. 

“Enak, bikin aku ngerti sekarang kenapa Ninda rekomendasiin makan di sini.”

Lebih enak lagi makan sambil mandangin kamu makan.

Nafi menahan senyuman melihat gaya makan Nessa. Pipinya tergembung seperti tupai kelewatan antusias mengemut pinus, Lucu, itu pipi beneran minta dicium. Mengibaskan rambut panjang, Nessa mengangguk-angguk puas dengan rasa makanan yang dicecapnya. Gaya makan yang begitu legit.

“Kepedesan, ya, Sayang?” suara sok lembut lelaki dari meja di samping, mengusik keduanya. Logat Nyunda kental saat berkata penuh kecemasan seakan pacarnya akan melahirkan, “Kamu enggak pa-pah?”

Nessa tidak bermaksud mendengar atau menguping adegan sinetron itu, yang entah kenapa terealisasi ke dunia nyata. Masalahnya, suara mendayu menebar kemesraan mereka langsung membuatnya merinding, refleks ia mendelik ke meja samping.
Yang secara bersamaan Nafi ikut-ikutan gerakan Nessa memandangi kedua sejoli di sebelah meja.

“Minum, dong, Yang.” Sang gadis memanyunkan mulut dan merajuk manja. “Enak, sih, tapi pedes banget  buat aku.”

Nafi melirik perempuan di seberang sana, lalu ganti melirik pada wajah Nessa. Ia tersenyum amat tipis menyaksikan reaksi Nessa yang sama seperti perempuan di sana.

Bagi Nafi, mulut Nessa juga tidak beda jauh dari gadis itu. Bedanya, jauh lebih cantik saja, sekalipun ia berbisik sebal, ya, siapa suruh lo pesen yang pedes kalau memang enggak kuat?

“Ini, Yang.” Si lelaki langsung mengulurkan sedotan, pacarnya langsung menyeruput es teh miliknya. “Ehehe, ada kecap di ujung bibir kamu, tuh.”

Dan terjadilah adegan lap-mengelap sudut bibir. Heck yeah, adegan klise drama Korea KW-3. Apa mereka tidak tahu bahwa ini di tempat umum? Memang si gadis tidak bisa mengelap mulutnya sendiri?

Oh, god.” Nessa memutar kedua bola mata, berbalik menatapi lagi makanan yang terasa tak lagi tampak lezat. Salahkan adegan norak di sebelahnya yang mengamblaskan nafsu makan.

Dasar anak muda. Pacaran itu hal yang fana. Pada akhirnya, setelah bosan karena tak lagi bisa menjaga mesra selamanya, mereka toh akan berakhir putus juga.

Tidak usah orang pacaran, yang menikah saja bisa begitu. Nessa terlalu hafal berdasarkan pengalaman pribadi sebagai seorang WO. 

Duh, mana si Hulk malah bangkit meninggalkannya sendirian dengan dua sejoli dimabuk asmara. Wajar saja, Nafi sudah selesai makan, dan paling sedang membayar makanan mereka di kasir.

“Nessa, astaga.” Nafi yang telah membayar makanan, bergegas duduk lagi dan menyingkirkan rambut panjang Nessa agar terurai di bahu.

Nessa mendongak, inginnya sih berekspresi galak. Namun dia mengurungkan niat saat Nafi menyelipkan rambutnya dengan perlahan ke belakang telinga.

“Hati-hati dikit, Sa.” Nafi memastikan rambut Nessa tak menghalangi wanita itu untuk lanjut menandaskan santapan malamnya. “Nanti rambut kamu masuk ke makanan. Kalau kamu kemakan rambutmu sendiri, gimana?”

Talk about the anti-mainstream, Hanafi Adelard. Ini harusnya bisa jadi mesra, kalau pilihan kata-kata Nafi sedikit lebih tepat. Nessa baru mau mengucapkan terima kasih, tapi pasangan di sebelah lagi-lagi berulah.

Love IndeedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang