Bab 1.1

840 76 20
                                    

Hai saya kembali!

Kali ini dengan novel lama saya yang pernah terbit (hampir) 10 tahun yang lalu. 

Ini adalah versi mentah sebelum diedit. Beberapa kejadian pasti terasa kuno (maafkan saya yang masih males merevisi).

Please enjoy!

Vote and comments are welcome and much appreciated :)

*


Eri Andriana mendongakkan kepalanya, mencoba mencari tahu keadaan cuaca di luar rumah sakit. Pandangan matanya menembus jendela tinggi di dalam ruang dokter jaga tempatnya

menimba ilmu. Mendung, otaknya menjawab keingintahuannya.

Ah...mungkin juga tidak, renungnya kemudian.

Pandangan mata bisa menipu, apalagi kaca jendela berukuran 60x100 centimeter yang terletak 3 meter dari tanah itu memang berwarna gelap. Jadi, dalam cuaca apa pun, jendela itu selalu memperlihatkan suasana mendung yang suram.

Eri menggeliat lalu mendorong kursinya dan bangkit berdiri. Badannya terasa capek sekali setelah semalaman tidak tidur karena mendapat tugas jaga malam. Ruang dokter jaga sudah sepi karena memang tugas dokter jaga berakhir jam 7 pagi, setengah jam yang lalu.

Sambil memukul-mukul pundaknya, ia membereskan kertas catatannya yang berserakan di atas meja. Pukul 4 pagi, setelah menjadi asisten operasi kasus fraktur bilateral condylus mandibula1, ia memutuskan menuliskan kronologi operasi yang ia ikuti. Sebelumnya Eri belum pernah melihat penatalaksanaan kasus fraktur mandibula sehingga ia ingin mendokumentasikannya lewat tulisan.

Sebuah senyum terkembang di wajahnya. Saatnya pulang. Di benaknya sudah tergambar suasana kamar di apartemennya. Apartemen di lantai 10 yang sejak bulan lalu menjadi miliknya seutuhnya setelah ia berhasil melunasi pembayaran cicilan selama 3 tahun. Orang tuanya baik sekali, bersedia mendukungnya membeli apartemen bahkan ikut membayar separuh uang mukanya. Terutama ibunya, padahal ibunya adalah jenis wanita kolot yang lebih menyukai jenis rumah dengan taman di depan rumah dan para tetangga yang bisa diajak bergosip, bukannya individualistis.

Eri menguap lebar. Ia ingin tidur sepuasnya, mengisi baterainya kembali mumpung besok adalah hari Sabtu, kuliah dan praktiknya libur.

*

Pintu transparan rumah sakit tiba-tiba terayun terbuka. Seorang pemuda berumur akhir 20-an masuk dengan panik. Tangan kanannya membekap mulutnya yang bersimbah darah sampai mengenai kemeja putih lengan panjangnya. Dari pakaiannya, sepertinya pemuda ini adalah orang kantoran.

Lihat saja celana kain yang ia pakai, ditambah lagi dengan sepatu resminya.

"Dokter? Mana dokter?" pemuda ini berteriak panik. Ia tidak tahu harus menunjukkan teriakannya pada siapa.

Ditolehkannya kepalanya mengitari ruangan bercat putih yang sudah mulai terlihat pudar itu, berharap ada yang menjawab pertanyaannya. Ruang tunggu rumah sakit yang ramai tiba-tiba hening

saat suara pemuda itu terdengar. Para pasien dan kerabat yang sudah menunggu ruang tunggu sejak matahari belum terbit menatap pemuda itu dalam diam. Mereka baru saja mendengar sebuah logat yang agak aneh, bahasa Indonesia yang dilagukan dengan kesan tergantung–tidak mantap.

Siapa gerangan pemuda itu? Dari logat suaranya, jelas pria itu bukan orang Indonesia, apalagi Surabaya. Kulitnya putih, ciri khas orang Asia: Cina, Korea, atau Jepang. Tidak ada yang bisa menebak dengan pasti.

Eri berhenti berjalan saat mendengar teriakan pemuda itu. Perlu beberapa saat baginya untuk bertindak. Teriakan pemuda itu mengundang firasat buruk di benaknya. Semoga saja pemuda ini tidak menganggu rencananya–tidur sampai puas.

Marrying AIDSWhere stories live. Discover now