Bab 3.2

249 32 0
                                    


Eri menatap bayangan wajahnya di cermin. Bulat. Itulah yang sering ia dengar dari teman-temannya. Matanya bulat dan besar. Ini bagus, suatu pujian. Eri senang mendengar-nya. Wajahnya juga bulat. Walaupun ingin menyangkalnya, ia tidak bisa. Kenyataannya memang demikian. Wajahnya memang bulat. Sekurus apa pun tubuhnya, wajahnya tidak pernah mengecil. Waktu SMA ia pernah mati-matian diet supaya pipinya bisa sedikit kempes. Tapi percuma saja. Ia tembem secara genetik, tak bisa diubah.

Jari Eri menyusuri tulang hidungnya lalu mengapit pucuk hidungnya dengan jari telunjuk dan tengah kemudian menariknya ke depan. Andaikan cara ini ampuh, tulang hidung Eri pasti sudah meninggi sejak dulu. Eri mengusap-usap lagi hidungnya yang sekarang terasa agak sakit gara-gara tarikannya tadi. Siapa sih yang menyebarkan gosip kalau hidung bisa mancung dengan ditarik?

Eri memerhatikan lagi bayangannya. Apa yang salah? Tanyanya dalam hati. Ia menyentuh pipinya. Bayangannya melakukan hal yang sama. Eri menggeleng getir. Baru 2 hari berlalu dari tekadnya 'menikmati hati', tapi nyalinya sudah ciut lagi. Raut wajahnya menunjukkan segalanya. Pucat, kecuali hidungnya yang sekarang kemerahan karena ditarik tadi. Seakan darah yang mengalir ke wajahnya disedot secara perlahan-lahan.

Cowok itu yang menyedotnya! Si Kang Ji-Hwan sialan itu! Eri memaki dalam hati. Eri mendekatkan wajahnya ke cermin sambil berusaha mengenyahkan wajah si cowok yang menari-nari di otaknya. Wajah itu hilang, digantikan suara yang terngiang di telinganya.

"Ambil kartu namaku," Kang Ji-Hwan menaruh kartu namanya dengan paksa ke telapak tangan kanan Eri. Eri berusaha mengibaskan tangannya tapi Ji-Hwan memegang-nya dengan kencang sekali.

"Aku tidak butuh," balas Eri sengit. Eri sedikit mendesis. Ia tidak ingin orang-orang di pesta ini mendengar suaranya. Ia tidak habis pikir bagaimana mungkin cowok ini bisa ikut hadir dalam pesta penyambutan studi banding ini? Karena temannya? Si dosen itu?

Eri tidak sempat mencari jawaban atas pertanyaannya karena Ji-Hwan kembali bersuara. "Kau akan membutuh-kannya suatu saat nanti," cowok itu terdengar sangat yakin. Ia mengambil tas tangan Eri dan memasukkan kartu namanya. "Telepon aku," tambahnya sebelum berlalu dari hadapan Eri.

Eri keluar dari kamar mandi setelah mengusapkan sedi-kit make up supaya wajahnya tidak terlalu pucat. Di lorong yang membatasi kamar mandi dan keramaian pesta, ia berhenti melangkah. Dalam diam, ia mencoba mencerna apa yang dilihatnya.

"Profesor Park Yun-Ki, perkenalkan, Kang Ji-Hwan dari Ha-Neul Group. Dia arsitek sekaligus yang akan me-mimpin pembuatan gedung baru di sayap barat," seorang pria berdasi kupu-kupu memperkenalkan Ji-Hwan pada salah seorang dosen di Universitas Seoul.

"Ah...sudah banyak berita yang kudengar tentang Anda," Park Yun-Ki tersenyum sambil mengangguk-angguk.

Ji-Hwan tersenyum seadanya, wajahnya tidak terlalu antusias menerima sapaan ramah itu. "Dan kabar apa yang Anda dengar itu?"

Park Yun-Ki tidak merasa terganggu dengan sikap cuek Ji-Hwan. Sudah lama sekali ia ingin bertemu dengan Ji-Hwan. Sejak putri tunggalnya, Eun-Hye menyebut nama pemuda itu beberapa bulan yang lalu. Ditambah lagi, anak muda ini telah berkali-kali masuk ke majalah sebagai arsitek muda yang sukses. Ia jadi semakin ingin mengenal Kang Ji-Hwan. "Banyak. Hasil pekerjaan yang begitu hebat dan sempurna. Banyak orang yang menantikan untuk bekerja sama dengan Anda. Sungguh anak muda yang berbakat. Saya yakin, gedung baru itu sudah jatuh di tangan orang yang tepat."

Ji-Hwan tersenyum lagi, kali ini lebih tulus. "Anda terlalu memuji. Itu memang pekerjaan saya."

"Wah...wah...saya rasa rumor yang beredar di pasaran tentang Anda itu salah," Park Yun-Ki terpesona dengan sikap rendah hati Ji-Hwan dan tersenyum makin lebar. "Banyak yang berkata Anda sombong sekali, bahkan untuk menjabat tangan orang saja tidak mau. Tapi saya rasa itu hanya ucapan orang yang sirik, ya kan? Saya yakin Anda akan bersedia menjabat tangan orang. Tangan saya bersedia menjadi contohnya," Pria itu mengulurkan tangannya. Wajahnya berseri.

Kening Ji-Hwan sedikit berkerut. Ia mengamati tangan tua yang terulur di depannya selama beberapa saat. Raut wajahnya tak begitu senang. "Sekali-kali Anda harus percaya gosip, kyosunim Park," sahut Ji-Hwan tajam dan dalam. "Terkadang gosip dibuat berdasarkan fakta."

Park Yun-Ki terperangah. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendapat sambutan seperti itu.

"Anda turunkan saja tangan Anda. Saya tidak suka bersentuhan dengan orang. Apalagi yang baru saya kenal," Selesai mengatakan itu, Ji-Hwan langsung melakukan hal yang sedari tadi ingin ia lakukan: meninggalkan pria itu.

Marrying AIDSWhere stories live. Discover now