Bab 2.3

296 38 4
                                    


Eri mengedarkan pandangannya ke seluruh kafetaria kampus. Di depannya, satu buah mangkuk kosong yang tadinya berisi nasi campur ala Korea dan segelas minuman bertengger di atas meja. Saat pertama kali mencoba bibibap– begitulah orang Korea menyebut nasi campur, Eri tidak begitu menyukai rasanya. Agak kurang cocok di lidahnya,

walaupun masih bisa diterima karena rasanya tak terlalu berbeda. Tidak seperti masakan Jepang yang sama sekali tidak bisa bersahabat dengan lidahnya. Eri pernah beberapa kali mencoba masakan Jepang yang ada di restoran Indonesia dan setelah beberapa kali bereksperimen, Eri memutuskan bahwa makanan Jepang tidak bisa bekerja sama dengan indera pengecap lidahnya.

Kali ini Eri duduk sendirian. Ia berpisah sebentar dari rombongannya. Ah, sebenarnya, ia memisahkan diri. Capek juga rasanya harus menerjemahkan semua percakapan yang dilakukan orang-orang. Dari bahasa Korea ke Indonesia lalu disambung dari Indonesia ke Korea, begitu terus. Eri pikir, pekerjaan translator ini tidak akan semelelahkan ini karena pasti bahasa Inggris bisa digunakan untuk bercakap-cakap. Memang benar, tapi percakapan yang berlangsung agak tersendat karena beberapa kalimat tidak jelas. Menurut Eri, tingkat bahasa Inggris orang Korea bisa disamaratakan de-ngan orang Indonesia, namun kenyataannya tidak demikian. Eri sudah menarik kesimpulan. Bahasa Inggris orang Korea lebih parah dari Indonesia.

Orang Indonesia, walaupun logat dan pengucapannya tidak benar, Eri yakin orang bule pasti bisa mengerti. Sedang orang Korea? Mana Eri tahu kalau starte (baca: e pada benang) yang dimaksud orang Korea adalah start (mulai). Apalagi ditambah dengan kecepatan pengucapan yang relatif cepat. Para senior Eri yang notabene sudah agak uzur, semakin tidak mengerti kemana arah perbincangan mereka sehingga Eri harus turun tangan.

Eri menyipitkan matanya sambil memiringkan kepala-nya sedikit. Ia berusaha mengingat apakah ia pernah melihat kedua orang itu sebelumnya. Wajahnya familiar sekali. Siapa? Artis? Eri pernah beberapa kali menonton drama Korea walau tidak hafal dengan judul maupun pemainnya. Tapi siapa tahu...kedua cowok yang duduk satu meja di depannya itu adalah artis terkenal.

"Kau tahu apa masalahnya," Eri mendengar cowok berjas abu-abu itu berucap. "Apa pun yang kau katakan, aku akan kembali ke Indonesia. Aku harus mencarinya!"

Indo–? Ah! AH! Mata Eri melebar. Ia ingat sekarang. Si cowok avulsi! Tanpa pikir panjang, Eri berdiri dari kursinya dan menyapa mereka.

"Ba-bagaimana? Kenapa? Apa? Kamu-" Kwon-Woo bica-ra dengan terbata-bata sambil menunjuk ke arah Eri yang berdiri di depannya. Terlalu kaget untuk bisa membuat satu kalimat utuh.

"Tidak menyangka bisa bertemu orang yang aku kenal di sini," Eri berbinar. Senang sekali bisa berbincang dengan orang yang sudah ia kenal atau paling tidak sudah pernah bertemu dengannya sebelumnya.

"Kenapa kamu ada di sini?" Kwon-Woo akhirnya bisa menyatukan kata-katanya dalam sebuah kalimat utuh. Kwon-Woo masih terlihat kaget, ia bahkan lupa kalau seharusnya ia menggunakan kalimat yang lebih sopan. Ia tidak terlalu kenal dengan gadis itu. Mereka baru bertemu satu kali.

"Studi banding," jawab Eri. "Anda sendiri?"

"Aku dosen di sini," jawab Kwon-Woo sambil menarik sebuah kursi dan menyuruh Eri duduk.

"Dosen? Dosen apa?"

"Indonesian Linguistik,"

"Benarkah?" Eri terkejut bercampur kagum.

Ia tidak tahu kalau ada jurusan bahasa Indonesia di Korea. Ternyata sastra Indonesia berkembang juga di luar negeri. Bangga juga rasanya mengetahui kabar menyenangkan ini.

"Hei, Ji-Hwan. Kenapa kau jadi diam saja?" Kwon-Woo menegur temannya yang tidak bersuara.

Eri ikut menoleh ke arah Ji-Hwan. Ia lupa cowok itu juga ada bersama dengan mereka.

"Kamu...kapan kita bisa menikah?" Ji-Hwan menatap Eri tajam. Ekspresi wajahnya tak tertebak.

"Hei...Ji-Hwan!" Kwon-Woo kaget.

"Hah?" Eri tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Salah satu scene pasaran dalam drama romantis. Cewek biasa yang tiba-tiba disukai oleh aktor utama yang biasanya berwajah tampan. Si cewek bakal menolak, tentu saja karena biasanya mereka belum saling mengenal atau bahkan saling membenci namun karena satu-dua alasan mereka harus pura-pura nikah.

Melihat drama dengan alur cerita seperti ini selalu mem-buat Eri berkomentar pedas. Dasar cewek munafik! Masa nolak uluran cinta dari si cowok sih? Kalo aku, uda pasti aku terima. Cakep, tajir, baik pula. Apa yang kurang coba?

Semua aktor utama cowok di dalam drama selalu digambarkan sempurna.

Eri ternganga sebentar. Otaknya sibuk menelaah ucapan Ji-Hwan. Eri yakin, jika yang terjadi dalam tubuhnya hanya reaksi fisik, ia akan mengiyakan ajakan Ji-Hwan untuk menikah. Orang pintar tidak akan menolak cowok tampan. Sayangnya, diperlukan juga chemical reaction untuk mene-laah sebuah pernikahan. "Kalau Anda berniat bercanda, um..."

"Kang Ji-Hwan."

"...Kang Ji-Hwan ssi," lanjut Eri, suaranya datar. Eri tidak suka mendengar pertanyaan cowok itu. Bercanda ada batasnya!

"Kau sudah berjanji!" jawab Ji-Hwan dalam dan tegas.

"Semua orang tahu aku tidak serius!

"Aku serius! Apa aku mengatakan bercanda waktu itu?" Ji-Hwan membalas. Ia tidak mengalihkan pandangannya dari mata Eri.

Orang ini sudah sinting! Orang Korea terlalu banyak membuat drama pacaran atau pernikahan pura-pura! Inilah jadinya. Merusak mental bangsa! Penduduknya menjadi bodoh dan meniru adegan di film. Mana ada kejadian seperti itu di dunia nyata. Dasar tukang mengkhayal! "Itu kondisi darurat. Aku hanya mengatakan apa yang harus aku katakan," Eri menantang.

"Manusia harus bertanggung jawab atas perkataannya."

"Atas dasar apa aku harus menurutimu? Kita tidak saling kenal, Kang Ji-Hwan ssi. Kau belum tentu ingat siapa namaku."

"Eri. Eri Andriana," Eri terkejut mendengar jawaban Ji-Hwan. Cowok ini memerhatikan namaku?

"Aku akan menikahi gadis yang menyentuhku. Aku sudah memberitahumu dan kau mengatakan bersedia. Apa kamu tidak berpikir sebelum mengatakan iya?"

"Aku tidak mau membahasnya," Eri berdiri dari kursinya, rasa jengkel memenuhi dadanya. "Anggap saja kita tidak pernah bertemu. Selamat tinggal."

"Aku positif HIV," suara Ji-Hwan membuat Eri mem-beku di tempat. Dalam gerakan lambat, ia membalikkan wajahnya dan menelusuri ekspresi Ji-Hwan. Datar. Ketakut-an tiba-tiba menyelimuti wajah Eri, membuat wajahnya pelan-pelan berubah menjadi pucat.

"K-kau bercanda kan?" tanya Eri.

Ada jeda yang dirasa Eri sangat ganjil dan mencekam saat menunggu jawaban Ji-Hwan.

Ji-Hwan akhirnya membuka mulutnya. "Tidak. Itulah sebabnya aku tidak mau disentuh. Kau yang memaksa. Aku bersumpah akan menikahi wanita yang menyentuhku. Aku mau menanggung seluruh kehidupanmu setelah ini. Aku bersedia bertanggung jawab."

Eri terduduk lemas. Seluruh tulangnya serasa mengalami penyusutan seketika. Ia tidak mampu berpikir, apalagi bergerak. Tiba-tiba ia merasa seperti sayuran layu yang sedang dimasak di atas bara api yang membara.

*




Inilah awal mula konflik yang dialami Eri. Gimana nih menurut kalian? Ditunggu komen-komennya, ya :)

Marrying AIDSWhere stories live. Discover now