"Serius nggak bawain aku apa pun?" Fre bertanya lagi.
"Harus aku ulang berapa kali? Aku nggak sempat kemana-mana." balas Eri sambil membetulkan baju ruang operasi yang baru saja ia pakai "Lagipula, aku sedang seminar dan studi banding, bukannya jalan-jalan,"
"Seingatku, kamu berkoar akan memberiku banyak oleh-oleh," Fre cepat-cepat memakai baju operasi dan mengikuti Eri.
"Kau semakin pintar memutarbalikkan fakta, Fre," Eri membalas setelah wajah Fre terlihat. Tangan Eri bergerak-gerak di bawah pancuran air di wastafel. Ia sedang men-sterilkan tangannya untuk melakukan operasi. "Aku bilang akan membawakanmu udara musim semi."
"Pagi, Nafta." Eri berkata dengan suara sedikit keras supaya pasiennya yang yang sudah menunggu dan duduk di atas dental chair bisa mendengarnya. "Rileks aja...nggak akan makan waktu lama kok. Setengah jam selesai,"
Nafta tersenyum ragu. Ini operasi pertama baginya. Walaupun kelihatannya cuma operasi kecil–mengeluarkan
gigi yang menyebabkan kepalanya sering pusing beberapa bulan terakhir ini–tapi jantungnya berdegup lebih kencang. Ia kelihatan tegang.
"Suster," Eri mulai memberi kode untuk mengambilkan obat bius setelah ia memakai sarung tangan. "Fre, apa yang kamu lakukan di sini?" Eri menyadari Fre belum juga keluar dari ruang operasi. "Kamu nggak ada pasien kan?" mata Eri mengitari ruang operasi berwarna putih yang memiliki 3 dental chair yang ditata berjajar. Hanya satu kursi yang terisi oleh pasien. Kursi Nafta.
"Hei...aku memakai baju operasi dan juga masker. Aku yang jadi asisten operasimu hari ini,"
Eri mengernyit. "Seingatku, aku sudah ratusan kali melakukan operasi ini dan selalu berhasil. Seingatku pula, yang seharusnya menjadi asisten adalah mahasiswa bendol kuning atau hijau dan bukannya PPDGS (Program Pen-didikan Dokter Gigi Spesialis) seperti kamu. Apa peraturan-nya sudah ganti?"
"Bisa dibilang....hari ini hari keberuntunganmu... asistenmu hari ini sangat profesional," Fre tersenyum lebar. "Suster, tolong pakaikan masker,"
"Frreeee..." Eri menggeram dan menatap tajam pada Fre.
"Oke...oke..." Fre berdecak sebal. "aku cuma ingin oleh-olehku. Kau pergi meninggalkanku sebulan penuh dan kembali kesini dengan tangan kosong tanpa detail apa pun? Kau tahu aku nggak akan melepaskanmu."
Eri memainkan matanya menyuruh Fre pergi.
Fre membuat gerakan menyetujui permintaan Eri dengan matanya. "Kita akan membahas hal ini nanti, oke?"
"Dan...ada seseorang yang ingin kukenalkan denganmu," lanjutnya sebelum menghilang di balik pintu.
Begitu Fre keluar dari ruang operasi, Eri segera me-nenangkan Nafta yang semakin terlihat tegang.
"Suster, suction (alat untuk menyedot cairan, dalam hal ini adalah air liur)," Eri memerintah. Air ludah mulai menggenangi rongga mulut Nafta. Ludah bercampur darah. Eri sudah berhasil membuka gusi dan kini saatnya mengebor tulang untuk mengambil gigi yang tertanam di dalam tulang rahang.
Eri memasukkan bor ke dalam mulut Nafta. "Lampu."
Eri menggerak-gerakkan kaca mulutnya mencari tempat yang pas untuk bisa melihat apa yang akan ia kerjakan. Begitu menemukan sudut yang ia maksud, kaki kirinya menginjak pedal untuk menyalakan burnya.
Nggginggggggggg.....
Bur berbentuk bulat itu mulai mengebur tulang. Eri menggerakkannya naik turun. Satu lubang terbentuk. Kurang dua lagi.
Ngggiingg....nggiiiiiing....
Eri mengerjapkan matanya. Tangannya bergetar sedikit.
Ia mengalihkan kaki kirinya dari pedal.
Hening.
Eri mengerjapkan mata lagi lalu meletakkan bur tersebut pada tempatnya. "S-suster...ganti suctionnya." Susah payah Eri mengucapkan kalimat itu.
"Kenapa, dok? Masih bisa dipakai kok?" suster itu merasa aneh.
"Pokoknya ganti saja," suara Eri pelan. Ia menatap tangannya yang terbungkus sarung tangan warna hijau. Di beberapa tempat ada bercak darah.
Nngiiingggg...
Suara apa itu? Mata Eri menggelilingi ruang operasi. Ia tidak sedang memakai bur. Dental chair yang lain kosong. Ia yakin itu. Hanya ia sendiri yang melakukan operasi saat ini. Eri menatap kembali ke dental chair dan terkesiap.
Cowok!
Pasiennya berubah menjadi seorang pria. Ji-Hwan!
Suara bur itu semakin keras terdengar di telinganya. Nngggingggg....brrrr...ng-nggiiinngg.. Sarung tangannya ter-lilit pada bur. Ah! Perih... Ujung sarung tangannya sobek.
Jarinya terluka.
"Dok?"
Eri mundur satu langkah. Ia menekan-nekan jarinya. Tidak sakit. Ia tidak terluka. Luka itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Operasi yang lalu. Bukan sekarang...bukan se-karang! Kenangan itu membuat tubuh Eri gemetaran.
Eri mulai panik. Keringat dingin mulai muncul di dahinya.
"Dokter?" suster itu memanggil lagi. "Suctionnya sudah saya ganti,"
Ia menatap orang yang memanggilnya dengan tatapan nanar. Eri muncur satu langkah lagi. Matanya bergantian menatap bur dan pasien yang duduk di dental chair.
Aku nggak bisa. Aku nggak boleh!
Ngggiiing.... Suara itu kembali memenuhi kepala Eri.
Terlalu banyak darah...Aku...
"Panggil dokter Fre!" suara Eri tercekat di leher.
"Apa, dok?"
"Dokter Fre! PANGGIL DOKTER FRE!" Eri berteriak.
Dengan setengah berlari ia meninggalkan ruang operasi.
-----------------
Maaf lama banget nggak update. Ditunggu komen2nya yaaa
YOU ARE READING
Marrying AIDS
Romance"Dokter Eri, Ji-Hwan bukan memandang remeh Anda. Teman saya ini hanya tidak mau disentuh oleh siapa pun. Bahkan, kalau ada wanita yang menyentuhnya, terutama di bagian wajah akan dinikahinya," Eri Andriana mendengus geli mendengar penjelasan itu. U...