Bab 1.2

430 60 10
                                    

Kenalan lagi sama Eri dan Ji-Hwan, ya :)



*


"Dok, kerabat pasiennya mau bicara," suster Dea melongokkan kepalanya ke ruang loker.

Eri cepat-cepat menaruh tasnya ke lokernya dan meng-ikuti suster Dea. Yang menunggunya adalah seorang pemuda berkacamata. Secara keseluruhan, postur tubuhnya, bahkan mungkin juga umurnya hampir sama dengan pasien tadi. Wajahnya lebih dewasa, dengan sebingkai kacamata bertangkai hitam di ujung hidungnya. Eri langsung menilai 8 untuknya. Pasien tadi cukup 7 saja. Pria itu langsung berdiri dari kursinya begitu melihat Eri.

"Maaf, teman saya minta yang menanganinya laki-laki," pria itu langsung mengungkapkan keinginannya tanpa basa-basi. Logat pria ini juga sama dengan pria sebelumnya. Sepertinya mereka berasal dari negara yang sama. Apa yang mereka lakukan di Surabaya? Tanpa bisa dicegah, Eri bertanya dalam hati. Pasti urusan bisnis. Tampang mereka seperti eksekutif muda. Muda dan sombong, Eri menuduh.

Eri lelah sekali. Ia tidak mau berdebat. Dirogohnya saku celananya. Untung saja ia belum memasukkan ponselnya ke loker. Ditekannya sebuah nomor. Sedetik kemudian telepon itu diangkat.

"Hei," sapa Fre Setiawan–kakak kelas sekaligus teman sejawat Eri–seakan cowok itu memang sudah menunggu telepon dari Eri.

"Bisa ke rumah sakit sekarang? Ada kasus avulsi."

"Aku lagi ngajar." Fre merendahkan suaranya. Ia berdiri dari kursinya dan melangkah keluar kelas. Sebenarnya, ruangan yang ia pakai bukan ruang kelas. Papan petunjuk yang ditempel di depan pintu ruang tersebut bertuliskan 'Ruang Dosen Bedah Mulut'. Anehnya, para dosen tidak pernah memakai ruangan ini. Mereka selalu rapat dan bergosip di dalam klinik yang juga mempunyai sebuah ruang kecil untuk para dosen. Maka, ruangan ini disulap menjadi ruang kelas untuk mengajarkan pelajaran pengantar bagi mahasiswa yang akan masuk ke klinik.

Hari ini ia bertugas me-review pelajaran anatomi. Sudah 2 tahun ia dipercaya melakukan tugas ini. Sejujurnya, agak membosankan menjelaskan tentang struktur wajah manusia, tapi yah...hitung-hitung media untuk mencari siswi yang cantik yang bisa ia gaet. Kalau ia menceritakan tujuan ter-sembunyinya pada Eri, cewek itu pasti akan menggodanya habis-habisan. Jadi, mending dirahasiakan saja. "Kamu di mana? Tangani aja."

Eri mendenguskan nafas keras. "Pasiennya alergi wanita. Dia minta cowok," Eri bahkan tidak berupaya untuk me-ngecilkan suaranya. Sudah pasti ucapannya bisa didengar oleh kerabat pasien itu. Biar saja! Eri tidak peduli. Malah bagus kalau cowok kantoran itu dengar. Seenaknya saja merendahkan wanita. Eri tidak perlu bertanya kenapa si pasien tidak mau ia tangani, sudah pasti ini karena alasan gender. Wanita selalu dinomorduakan. Memangnya kalau wanita tidak bisa melakukan operasi?

"Ah...bujuk aja," Fre terdengar meremehkan Eri yang tidak bisa mempersuasi pasien. "Jangan lembek sama pasien."

"Ck...lagi males. Kamu kesini aja."

"Udah berapa lama?"

"Setengah jam yang lalu kejadiannya. Cepet ya...ntar keburu mati giginya."

"Udah...tangani aja. Nggak cukup waktunya. Aku juga ada odontektomi (operasi pengambilan gigi) di kampus. Ntar kabari ya... bye..." tanpa menunggu jawaban, Fre menutup sambungan telepon. Eri mengerucutkan bibirnya. Dasar nggak sopan.

"Maaf, Dok," begitu Eri memasukkan ponselnya, pria di dekatnya itu bersuara dengan logat menggantungnya. "Ji-Hwan bukan alergi wanita."

Ah... orang Korea. Kalau saja situasinya bukan seperti ini, ia akan tersenyum lebar. Eri suka Korea. Ia jatuh cinta pada negara ini sejak ia masih kuliah S1. Suatu kali, ia iseng mengikuti lomba essay tentang negara ini yang justru membawanya sebagai peraih juara pertama dan mendapat hadiah jalan-jalan ke Korea.

Marrying AIDSWhere stories live. Discover now