Kemarin lupa update :(
Ini dia lanjutannya. Kenalan dulu sama dokter Fre.
*
"Kenapa tanganmu?" Fre mengempaskan pantatnya di sebelah Eri. Gadis itu sedang menatap layar laptop yang memperlihatkan aplikasi Acrobat Reader. Jarinya sibuk menekan ujung jarinya tangan kirinya yang berbalut tensoplas.
"Operasi kemarin," jawab Eri singkat. Pikirannya masih terfokus pada sebuah jurnal berformat PDF yang baru saja ia temukan di internet. Ia men-scroll mousenya menuju ke halaman tiga.
Suasana klinik jam 1 siang tidak seramai saat pagi. Fre memerhatikan para mahasiswa yang hilir mudik di depan-nya. Fre menahan rasa ingin tahunya saat melihat beberapa mahasiswa berbisik sambil menatap ke arahnya atau arah Eri atau siapa saja yang duduk di deretan meja instruktur.
Hanya 3 orang yang bertugas sebagai instruktur hari ini. Beberapa dosen senior mendapat panggilan rapat bagian dari dekan sehingga tidak bisa hadir.
Fre menjatuhkan pandangannya pada ibu jari Eri yang berputar mengelus ujung telunjuknya yang terluka. Ia ingat ada sesuatu yang harus ia tanyakan. Sesuatu yang ia dengar tadi pagi. Apa ya? Tiba-tiba Fre lupa pertanyaan apa itu. Umurnya baru 29 tahun, seharusnya ia belum sepikun itu.
"Dok," suara seorang cewek mengagetkannya. Mahasiswi yang sedang klinik. Cantik juga. Cewek itu menghadap Eri.
"Apa?" tanya Eri yang nadanya terdengar sebal. Bertahun-tahun mengenal Eri, Fre tahu gadis ini paling sebal jika diganggu saat menghadap ke komputer.
"Saya mau ekso (tindakan pencabutan gigi)." Papan nama di jas putih–jas klinik gadis itu terbaca 'Yuni Farida S.'
Fre memerhatikan Eri mendongak dan menatap ke arah gadis itu dalam. Benar-benar khas Eri. Dia sedang menilai, Fre membatin. Menilai sifat gadis ini. Termasuk gadis cengeng atau gadis berani.
"Gigi 11 (penyebutan elemen gigi menurut WHO untuk gigi seri atas kiri tengah), dok," suara Yuni terdengar mantap di telinga Fre. Ah...bendol merah ternyata. Fre baru memerhatikan button berwarna merah yang dipasang di atas papan namanya. Pantas saja wajahnya belum terlalu familiar.
Di universitas ini, klinik bedah mulut dibagi dalam 3 tingkat untuk jenjang S1. Untuk membedakan tingkatannya saat klinik untuk menangani pasien, di baju mahasiswa di-sematkan button (kancing baju) di atas papan nama dengan warna yang berbeda-beda.
Tingkat 1, dengan tanda bendol warna merah, dimulai saat semester 5/6. Biasanya menangani pencabutan (ekso-donsi, disingkat ekso) gigi depan karena merupakan gigi yang paling gampang dicabut. Tingkat kedua, bendol kuning. Bisa mencabut sampai gigi belakang dan menangani kasus lain (asisten operasi, buka jahitan, kasus pem-bengkakan, dll). Yang terakhir, seperti lampu di lalu lintas, adalah hijau. Dimulai pada semester 9/10. Lingkup kerjanya hampir sama dengan bendol kuning hanya saja lebih luas lagi.
Eri mengamati Yuni sekali lagi. Minggu ini adalah minggu pertama anak bendol merah masuk ke klinik untuk mencabut pasien. Harusnya Yuni, paling tidak, sedikit gemetar. Tapi gadis itu berhasil menyimpan ketakutannya dengan apik. Penampilan luar bagus. Let's see inside the brain. "Kamu tanya ke dokter Fre saja."
Yuni terdiam sesaat. Wajahnya menyiratkan kebingung-an. "Maksud dokter?"
"Ya kamu tanya ke dokter Fre, kamu boleh nyabut nggak?" ucap Eri, sedikit ketus. Kali ini nada suaranya sengaja dibuat galak. Eri tahu dirinya sudah dicap jahat oleh mahasiswa didikannya. Tapi... yah... apa boleh buat... memang ada sedikit 'kenakalan' dalam dirinya.
YOU ARE READING
Marrying AIDS
Romance"Dokter Eri, Ji-Hwan bukan memandang remeh Anda. Teman saya ini hanya tidak mau disentuh oleh siapa pun. Bahkan, kalau ada wanita yang menyentuhnya, terutama di bagian wajah akan dinikahinya," Eri Andriana mendengus geli mendengar penjelasan itu. U...