Bab 2.1

446 43 2
                                    


Sambil memegang pinset yang dimasukkan ke dalam mulut pasiennya, Eri melirik ke arah jam dinding tepat di atas dental chairnya. Hampir jam setengah sepuluh malam. Dulu, waktu pertama kali buka praktik, Eri menaruh jam digital tepat di samping kursi pasien. Dalam angannya, ia ingin mengontrol waktu karena Eri paling tidak bisa memper-kirakan waktu. Perawatan gigi, walaupun kelihatannya hanya merawat benda dengan ukuran beberapa milimeter saja tapi selalu makan waktu lama. Apalagi untuk perawatan saluran akar seperti yang sekarang sedang ia lakukan.

Menaruh jam di sebelah dental chair adalah kesalahan besar karena pasien jadi ikut gelisah dan melirik jam terus-menerus yang membuat perawatan menjadi semakin lama. Makanya Eri, setelah beberapa bulan membuka praktik, memindahkan letak jam ke dinding. Agak susah sebenarnya untuk melirik ke atas apalagi saat sedang bekerja. Tapi, apa boleh buat, Eri tidak pernah terbiasa menggunakan jam tangan. Dan lagi, tidak sopan rasanya memasukkan tangan berjam ke dalam mulut orang. Ia ingat saat pertama kali masuk ke klinik bedah mulut di jenjang sarjana, ada per-aturan yang mengharuskan melepas jam tangan saat akan mencabut pasien. Kalau dipikir benar juga, kasihan si pasien kalau jam tangan ikut masuk ke mulutnya.

Cotton pallete yang dijepitkan di pinset membersihkan tambalan sementara yang baru saja diaplikasikan Eri. Hari ini Eri mencoba memakai tambalan sementara yang baru. Warnanya soft pink. Beberapa hari yang lalu seorang detailer mempromosikan produk baru ini. Katanya lebih kuat dari yang lain dan juga lebih mudah dilepas. Mulanya, Eri tidak terlalu tertarik, tapi begitu tahu ada beberapa warna, ia jadi berminat. Tambalan seperti ini pasti cocok untuk anak kecil yang biasanya rewel kalau harus ke dokter gigi. Atau...pasien remaja wanita yang kebanyakan suka warna pink. Contohnya, pasien yang satu ini. Ratna, nama pasien ini, langsung antusias ketika Eri menawarkan warna pink sebagai tambalan sementaranya.

"Gigit 10 menit ya," Eri memberikan instruksi setelah menaruh cotton roll ke gigi yang baru saja ia rawat. "Jangan makan dulu selama setengah jam. Sudah makan malam kan?"

"Sudah," jawab Ratna dengan suara aneh karena menggigit kapas.

Sambil membalikkan badan, Eri menghembuskan nafas-nya perlahan. Ingin sekali ia bisa meregangkan badannya yang terasa penat. Nanti saja, setelah Ratna pulang. Se-minggu belakangan ini, Eri belum merasakan yang namanya

kepuasan tidur. Selalu saja ada sesuatu yang membuatnya tidur lebih malam dari biasanya. Apalagi kalau bukan kesibukan kuliah dan juga praktiknya. Untungnya sekarang ia sudak punya perawat yang bisa membantunya di ruang praktiknya. Perlu perjuangan dua tahun lebih sebelum ia bisa mempunyai seorang perawat.

"Bayarnya nanti saja, setelah perawatan semuanya sele-sai." Eri menjawab pertanyaan 'berapa' dari Ratna. "5 hari lagi datang lagi ya, biar bisa dipasang tambalan tetapnya."

"Dok, terus kapan nyabut gigi belakangku?" tanya Ratna. "Emangnya tumbuhnya bener-bener miring ya?"

"Iya, seperti foto rontgen yang kamu bawa itu. Kalau dalam minggu ini kamu bisa?" tanya Eri sambil melihat jadwal kegiatannya di PDA-nya.

Dok-dok-dok.

Ratna belum menjawab ketika ketukan itu terdengar. Refleks, Eri mengeluh dalam hati. Duh, kenapa masih ada pasien malam-malam begini. Apa si Rusni lupa nutup pintu ya waktu pulang tadi? Eri bertanya-tanya. Jam 9 malam tadi, Rusni, perawatnya selama setahun belakangan ini meminta izin untuk pulang lebih awal. Anaknya sakit. Umur Rusni lebih muda 4 tahun dari Eri, tapi sudah memiliki anak yang usianya 4 tahun. Eri sampai takjub, ternyata masih ada juga orang yang menikah muda.

Walau belum dijawab, tamu di depan pintu itu mem-buka pintu dan menjengukkan wajahnya. Fre!

"Oh...masih ada pasien ya? Aku tunggu di luar deh," Fre menutup kembali pintunya.

Marrying AIDSWhere stories live. Discover now