Maaf hiatus agak lama. Ini dia lanjutannya :)
*
Choi Kwon-Woo tidak pernah bermimpi ingin menjadi dosen. Kalaupun ia pernah memimpikannya, ia tahu mimpi itu pasti bukan mimpi yang buruk karena ia suka ada orang yang mendengarkannya dan memperoleh sesuatu darinya. Kwon-Woo suka mengajar, ia sendiri sadar akan hal itu.
Tapi, terkadang saat anak didiknya terlihat seperti gerombolan anak nakal di matanya, Kwon-woo merasa ber-ada dalam suatu mimpi buruk–sangat lelah. Lelah sekali sampai-sampai ia tidak rela memberikan ilmunya bagi sekumpulan pengacau itu. Ingin rasanya berhenti mengajar.
Mereka kira aku tidak tahu apa yang mereka lakukan, Kwon-Woo mendesah dalam hati. Aku pernah menjadi mahasiswa. Aku pernah melewati sederetan ujian yang membuat kepala pusing. Dan sekarang mereka menganggap-ku buta. Kwon-Woo semakin membenamkan pantatnya di kursinya sambil memandangi kelasnya. Tatapannya makin tajam walaupun sebenarnya ia ingin memalingkan wajahnya ataupun angkat kaki keluar dari kelas.
Gulungan kertas kecil beralih tempat dari gadis berponi ke seorang cowok berbodi atlet. Go Man-Soo. Kwon-Woo tahu nama mahasiswa itu. Ia menjadi penguji dalam siding proposal skripsi anak itu. Dalam hati, Kwon-Woo merasa sangat kecewa. Jadi begini rasanya diabaikan. Kwon-Woo merasa kuliah yang ia ajarkan selama ini hanya dijadikan angin lalu bagi mereka.
Ketika Kwon-Woo kembali ke mejanya di ruangan dosen, ia langsung memasukkan kertas jawaban ujian ke dalam lokernya tanpa dilirik sedikitpun. Ia tidak ingin langsung mengoreksinya. Bisa-bisa ia mengurangi nilai seluruh mahasiswanya, dalam rangka melampiaskan rasa kesalnya.
"Hari yang buruk?" sebuah suara menegur Kwon-Woo. Kwon-Woo membalikkan badan dan melihat Ji-Hwan duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya. Di depannya ada botol susu dari kaca yang isinya tinggal separuh. Hh, siang-siang begini juga minum susu.
Kwon-Woo terlihat sedikit bingung. "Kapan kamu datang? Kenapa aku tidak melihatmu masuk?"
"Aigo...ini bocah. Kau lupa janjimu makan siang dengan-ku? Harimu sama sekali tidak menyenangkan?" Ji-Hwan mendecakkan lidahnya. Sofa yang ia duduki berguncang ketika temannya ikut menghempaskan tubuhnya di sebelah-nya.
"Jangan dibahas," jawab Kwon-Woo pendek. "Anak-anak itu tidak tahu pentingnya mata kuliah ini bagi mereka."
"Mungkin memang tidak penting," balas Ji-Hwan me-remehkan.
Kwon-Woo melotot, meminta Ji-Hwan menarik ucapan-nya. Ji-Hwan tak peduli dengan bola mata Kwon-Woo yang ingin meloncat keluar. "Kau menyia-nyiakan masa mudamu, kawan! Menjadi dosen itu tidak menyenangkan. Buang-buang waktu dan tenaga. Apa yang kau dapat? Tak ada kan? Hm...selain gaji yang kecil tentunya. Bahkan muridmu, yang lebih muda darimu tahu kalau mata kuliahmu tidak layak didengarkan! Apa gunanya mempelajari filsafat? Apa guna-nya mempelajari bahasa? Yang penting bisa saling bercakap-cakap, selesai sudah. Tak perlu mempelajari semua tetek bengeknya sampai mendetail!"
"Kau sengaja ingin membangunkan harimau yang tertidur?"
"Harimau? Kamu?" Ji-Hwan menunjuk temannya. "Hah! Kau ini...jangan mengotori mulutmu dengan marah padaku. Pertahankan saja imagemu sebagai dosen tersabar se-Korea."
Kwon-Woo tersenyum singkat. Ji-Hwan selalu bisa bersilat lidah. Ah...perasaannya menjadi lebih baik. "Ji-Hwan ssi, apa kau lupa? Justru karena aku mendalami linguistik Indonesia, aku bisa menjadi penyambungmu dengan si dokter. Kau tidak akan menyangkal bantuanku kan?"
"Ah! Untung kau ingatkan!" sahut Ji-Hwan. "Kapan kamu libur? Aku perlu membawamu ke Indonesia."
"Kenapa?"
"Mencari dokter itu, tentu saja," dahi Ji-Hwan mengerut aneh. Kenapa temannya menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya?
"Bercanda ya?"
"Aku tidak sedang tersenyum kan?" balas Ji-Hwan.
Wajahnya memancarkan keseriusan.
"Kau...tidak mungkin kan?" Kwon-Woo tertawa ragu. Ia tidak tahu harus menanggapi dengan serius atau tidak. "Tidak mungkin kamu ingin menikahinya, ya kan?"
"Kenapa tidak mungkin? Dia sudah mengatakan iya. Kamu ingat kan? Kamu yang menjadi saksi perkataan dokter itu."
"Kau tak mungkin serius." Kalau saja profesi Kwon-Woo adalah seorang dokter dan bukannya dosen Sastra Indonesia, ia pasti sudah mengambil segunung obat dan menyuruh Ji-Hwan meminumnya. Temannya itu sudah tidak waras. Mana ada orang yang menganggap rancauannya saat di rumah sakit Indonesia itu sebagai ucapan yang serius?
YOU ARE READING
Marrying AIDS
Romance"Dokter Eri, Ji-Hwan bukan memandang remeh Anda. Teman saya ini hanya tidak mau disentuh oleh siapa pun. Bahkan, kalau ada wanita yang menyentuhnya, terutama di bagian wajah akan dinikahinya," Eri Andriana mendengus geli mendengar penjelasan itu. U...