Bab 3.1

257 32 3
                                    


Pelajaran tentang HIV-AIDS sudah diajarkan sejak semester awal kuliah S1. Pertama kali diajarkan pada semester 3 kalau Eri tidak salah ingat. Kuliah biologi mulut. Lalu diajarkan lagi di mikrobiologi, patologi klinik, ilmu penyakit kulit kelamin, ilmu penyakit dalam, penyakit mulut, bahkan di etika hukum kedokteran.

Para dosen seakan sedang mengajarkan betapa penting-nya mengetahui penyakit ini. Supaya, sebagai calon dokter gigi bisa mengantisipasi jika ada seorang pasien HIV positif atau...lebih parah lagi–AIDS. Jangan ditolak. Itu isi dari pelajaran etika hukum kedokteran. Ada undang-undang yang mengatur tentang pasien ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS).

Eri memilah-milah lagi isi otaknya, mencari pelajaran apa saja yang ia dapat di bangku kuliah. Ilmu penyakit mulut. Mengajarkan bagaimana mencari tahu riwayat kesehatan pasien. Mengantisipasi penderita ODHA dan penyakit menular lainnya.

Apa lagi? Gejala klinis. Seringkali pasien tidak mau mengakui kalau ia adalah ODHA. Ini bahaya. Walaupun selalu diterapkan universal precaution (suatu tindakan yang menganggap bahwa semua pasien bisa menularkan penyakit sehingga harus dilakukan tindakan yang sangat hati-hati), seorang dokter gigi harus bisa mengetahui gejala-gejala suatu penyakit yang terlihat secara fisik di dalam dan luar mulut. Tujuannya ten-tu saja supaya bisa melindungi diri, pasien tersebut dan pasien lain dengan lebih baik.

5 tahun pendidikan sarjana adalah waktu yang cukup panjang untuk mengupas tuntas masalah penyakit HIV-AIDS. Pernah, Eri mengomel kenapa pelajaran tentang HIV-AIDS ini selalu dibahas dalam berbagai mata kuliah. Ia merasa bosan dengan topik tersebut. Sepertinya semua informasi tentang HIV-AIDS sudah terpaku di kepalanya.

Eri menarik nafas panjang sambil mencoba mencari-cari suatu informasi tentang HIV-AIDS yang sangat ia butuhkan. Informasi ini sangat penting sekarang. Semua topik tentang HIV-AIDS berseliweran di depan matanya: penyebab, pen-cegahan, jumlah penderita, perawatan, cara mendiagnosis. Tiba-tiba kepalanya terasa berat. Berdenyut-denyut. Dipejamkan matanya erat-erat. Mana? Mana? Eri masih mencari dan meraba-raba.

Tidak ada.

Dibukanya matanya dan tersenyum getir. Bertahun-tahun kuliah di fakultas medis tidak memberinya informasi sedikitpun tentang cara menghadapi masalahnya sekarang ini. Ia ingat satu seminar tentang HIV-AIDS yang ia ikuti. Ada subtopik tentang bagaimana seorang dokter gigi menangani pasien HIV-AIDS dan bagaimana cara hidup dengan ODHA. Tapi tidak ada yang pernah memberitahu-nya bagaimana cara menghadapi HIV-AIDS itu sendiri. Menghadapi diri sendiri yang positif HIV dan segera akan menjadi AIDS. Seharusnya ada kuliah tentang hal ini! Eri menjerit dalam hati.

"Eri An-de-ri-a-na ssi?" Eri terbangun dari alam pemi-kirannya. Seorang gadis bermata bulat, yang mengucapkan namanya dengan salah, menunggunya berdiri dari kursi tunggu.

Eri berada di rumah sakit. Tiga jam yang lalu ia pergi meninggalkan cafe tempatnya bertemu dengan Kang Ji-Hwan dan Choi Kwon-Woo. Samar-samar, ia ingat salah satu dari pria itu memanggil namanya, menyuruhnya kem-bali. Tapi ia terus berjalan. Ia tidak bisa berpikir. Sepertinya ada seseorang yang menutup otaknya. Semua yang terlihat di depannya berselaput warna putih tebal seperti kabut. Ia berjalan tanpa sadar. Berjalan terus sampai otaknya tidak terasa kosong lagi. Sebelum ia sadar, ternyata ia sudah melangkahkan kaki ke dalam sebuah rumah sakit dan melakukan tes darah.

"Hasil tesnya bisa diambil dalam waktu satu minggu," gadis berbaju suster itu kembali bersuara. "Dokter Kim akan menghubungi Anda apabila diperlukan,"

"Aaa... Ne... komawoyo17." Hanya itu yang Eri katakan saat mengambil surat yang diulurkan oleh si suster.

Pintu kaca rumah sakit terbuka otomatis saat Eri mendekat. Udara dingin langsung menampar pipinya, mem-bawanya kembali pada kesadaran yang penuh. Eri menutup matanya pelan sambil berdialog dalam hati. Berapa lama suster tadi bilang? 1 minggu? Hm...

Saat Eri membuka matanya, senyum lebar tersungging. Satu minggu cukup untuk bersenang-senang, ia memutus-kan. Ia tahu tidak ada gunanya memikirkan masalah ini. Apa pun hasilnya, itu masalah yang harus ia hadapi 1 minggu lagi, bukan sekarang. Eri melangkahkan kakinya. Ia ingin menikmati hari. Tiba-tiba ia merasa sang mentari sedang tersenyum ke arahnya. Udara jadi sedikit hangat.

Marrying AIDSWhere stories live. Discover now