4.4

240 13 0
                                    


"Ji-Hwan!"

Mendengar namanya disebut, Ji-Hwan mengalihkan pandangannya dan mendongak menatap Kwon-Woo. Kwon-Woo menyusuri kamar tamu di apartemennya dan memberikan sekaleng soda dingin kepada temannya. Kemejanya terasa lengket ke badannya. Ia berkeringat. Tentu saja! Ia tadi berlari dari kantornya mencari Taxi untuk mengantarnya ke apartemennya setelah mendapat email di ponselnya dari Ji-Hwan yang bertuliskan DARURAT.

Pasti sesuatu yang buruk, pikir Kwon-Woo waktu itu. Ji-Hwan tak pernah meminta pertolongan darinya. Well, tidak secara langsung. Ji-Hwan adalah tipe orang yang me-nimbulkan masalah kemanapun ia melangkah. Terutama karena kebiasaannya yang tidak mau bersentuhan dengan siapapun. Banyak orang membencinya, tentu saja. Kalau saja hasil pekerjaannya tidak bisa menyamai kesombongannya, ia sudah menjadi pengemis sejak dulu.

Selama ini, Kwon-Woo lah yang selalu meminta per-tolongan pada Ji-Hwan. Pertolongan yang benar-benar merupakan pertolongan–sebuah bantuan. Bantuan yang akan diingat seumur hidup karena harus memberikan balas budi. Ji-Hwan banyak merepotkannya. Sudah pasti! Ia lah satu-satunya orang yang sudi mengangkut semua sampah kekacauan yang ditimbulkan Ji-Hwan dan membuat teman-nya menjadi bersih. Selama ada Kwon-Woo, Ji-Hwan adalah Mr. Teflon–wajan anti lengket. Tapi itu bukan sebuah bantuan. Kwon-Woo merasa ia adalah pelapis teflon dari si wajan yang bertugas membuat Ji-Hwan tak lengket oleh masalah.

Kwon-Woo pikir inilah saatnya ia membalas kebaikan Ji-Hwan. Atau paling tidak menunjukkan pada temannya kalau ia bisa berbuat 'sesuatu' yang cukup berarti untuk diingat. Sayangnya, ia keliru. Panggilan darurat ini sama sekali tidak spesial. Hanya memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan Ji-Hwan seperti biasa.

"Apartemenku bukan hotel. Kapan kau akan mem-bawanya pergi?" Kwon-Woo bertanya penuh selidik. Ia berdiri bersandang di lemari pakaian sambil berpikir. Ia bukannya tidak mau membantu orang. Ia tahu Eri butuh bantuan, gadis itu pingsan. Kalau saja bukan Ji-Hwan yang membawa gadis itu ke apartemennya, ia tidak akan kom-plain. Secara pribadi, Kwon-Woo suka Eri. Gadis itu punya kepribadian yang kuat.

Yang jadi masalah bagi Kwon-Woo sekarang adalah sikap Ji-Hwan. kenapa Ji-Hwan tidak membawanya ke apartemennya sendiri?

Karena jauh? Mungkin. Apartemen Ji-Hwan berada di daerah elit Bundang, 20 menit dari pusat Seoul. Atau...

karena malu. Alasan ini sepertinya lebih cocok. Mau tak mau Kwon-Woo tersenyum. Sedikit sekali orang yang pernah masuk ke dalam apartemen Ji-Hwan, ia salah satunya. Walaupun semua perabotannya mewah, tapi tempat itu berantakan sekali. Pembantu hariannya sudah seringkali mengundurkan diri karena tidak tahan dengan teriakan Ji-Hwan yang tidak suka jika barang-barangnya sukar ditemukan karena sudah ditata.

Ji-Hwan kembali memfokuskan perhatiannya pada Eri yang sejak beberapa menit yang lalu berbaring tempat tidur dengan mata terpejam. Gadis ini masih belum sadar.

"Secepatnya," jawab Ji-Hwan singkat. Ia mengangkat tangan kanannya yang bebas dan mendekatkan ke wajah Eri. Tangannya berhenti di udara seakan ada sebuah dinding tak terlihat yang menghalangi gerakannya. Ia menarik kembali tangannya dan pura-pura menggaruk kepalanya.

"Tepatnya?" tanya Kwon-Woo lagi. Ia agak mengerutkan keningnya melihat gerakan tangan Ji-Hwan.

"Saat ia bangun," Ji-Hwan membuka kaleng sodanya sambil berdiri. "Aku janji," tambahnya saat melihat pandangan tak percaya Kwon-Woo. Ia meneguk sodanya. "Kau tidak punya susu?"

"Aku bukan penggemar berat susu," jawab Kwon-Woo sambil lalu. Ji-Hwan suka susu, Kwon-Woo tahu itu. Itulah alasan kenapa di lemari esnya bertumpuk beberapa kaleng susu, kalau-kalau Ji-Hwan bertandang ke apartemennya. Tapi saat ini Kwon-Woo tidak mau memberikan keinginan temannya. Ia terlalu jengkel untuk 'memberi kebaikan' lagi pada Ji-Hwan.

"Lalu kapan tepatnya kau akan menjelaskan kenapa kau bisa bersama dengan gadis ini? Dalam keadaan tidak sadar?" Kwon-Woo agak mengeraskan suaranya pada kalimat terakhir.

"Jangan berpikiran macam-macam. Aku tidak melaku-kan apa-apa padanya!" Ji-Hwan membela diri. "Aku me-nemukannya dalam keadaan pingsan!"

"Kau pikir aku akan percaya? Kau selalu punya catatan yang buruk bila dihubungkan dengan para gadis, Ji-Hwan! Ditambah lagi, kau yang berkoar akan menikahinya."

"Aku tidak melakukan apa-apa! Kau bisa bertanya pada para suster di rumah sakit. Mereka semua melihatnya pingsan!"

"Itu jawaban terbaikmu? Pingsan di rumah sakit?" Kwon-Woo mencela. "Kau tidak akan pergi ke rumah sakit! Kau benci rumah sakit!"

Dahi Ji-Hwan berkerut kecil sebelum menjawab. "Oke...oke...aku akan jujur. Aku mengikutinya sampai ke rumah sakit dan saat itulah aku melihatnya pingsan. Puas?"

"Kalau kau ingin beralih profesi menjadi sutradara film Ji-Hwan ssi...aku yakin kamu pasti sukses! Benar-benar cerita yang menarik!" Kwon-Woo masih tidak percaya.

"Terserah kau percaya atau tidak, tapi aku tidak me-ngarang cerita." Ji-Hwan mengangkat bahunya lalu melangkah keluar dari kamar.

"Gadis itu pingsan di rumah sakit..." Kwon-Woo menggantungkan kalimatnya. Ia ikut menghempaskan diri di sofa putih di samping Ji-Hwan.

"Lalu?" tanya Ji-Hwan, meneguk sodanya lagi.

"Rumah sakit ditujukan untuk orang sakit...orang yang pingsan...mereka harusnya di rumah sakit...bukan apar-temenku!"

"Kau pikir aku akan meninggalkannya di tempat seburuk itu? Rumah sakit? Yang benar saja!" ejekan Ji-Hwan berbaur dengan nada kebencian. Ia bersandar dan memejamkan matanya rapat-rapat.

Saat melihat Eri masuk ke dalam rumah sakit, Ji-Hwan termenung beberapa lama sebelum akhirnya memutuskan masuk ke dalam tempat yang paling dibencinya itu. Ia bersyukur melakukan hal itu. Keputusannya benar. Ia tak rela gadis itu dirawat di rumah sakit. "Perlu 10 menit untuk mengambil gadis itu dari semua suster yang berteriak akan merawatnya. Cih! Yang mereka lakukan bukan merawat tapi membunuh orang ! Aku tak tahu kenapa orang sangat percaya dengan rumah sakit!"

Kwon-Woo menatap Ji-Hwan. Rahang Ji-Hwan me-ngeras beberapa kali. Kejadian itu pasti terputar lagi di benaknya. Kwon-Woo bisa menebaknya. Kali ini ia lah yang kelewat batas. Ia hampir lupa betapa temannya ini benci dengan rumah sakit.

*

Marrying AIDSWhere stories live. Discover now