Dua

3.4K 182 13
                                    

"Ini Gardenia, bunga dengan kembang putih yang indah, mengkilap dan wangi. Bunga ini mengisyaratkan arti bahwa kamu yang terindah. Melambangkan kemurnian juga harapan. Dan jika kalian menerima bunga Gardenia yang memiliki semburat kuning pada pusat kelopaknya, itu menandakan cinta rahasia." - Orion

Mobil kami berhenti tepat di depan rumah besar bercat hijau muda. Ilalang membuka kaca mobil dan menjulurkan tangannya keluar, menekan sebuah tombol yang berada di tangan hingga kemudian pagar hitam di hadapan kami bergerak secara otomatis.

Ilalang kembali menutup jendela mobil dan mengemudi dengan pelan hingga mobil benar-benar berhenti di garasi. Kepalaku masih menoleh ke kiri. Memperhatikan halaman luas yang telah diselimuti rumput Jepang dengan pohon mangga besar di sudut halaman. Tidak ada bunga atau tanaman lain. Teras keramik di depan pintu masuk juga tidak terlampau lebar. Tidak ada bangku atau meja kecil seperti apa yang ada di teras rumahku.

Suara tawa kecil memecah perhatian, "Kamu begitu detail memandangi tiap sudut rumah ini. Tidak seperti saat kamu memandangi pemiliknya," ujar Ilalang yang membuat aku melihat ke arahnya.

Ilalang beranjak untuk menurunkan barang-barang dari bagasi. Sementara aku hanya membuka pintu mobil dan sedikit bergeser mengambil posisi hendak keluar tetapi malas untuk beranjak.

"Sampai kapan kamu mau terus termenung di mobil, Sayang?" Ilalang bertanya dengan sedikit mengeraskan suara agar aku dapat mendengarnya.

Aku bergumam tidak jelas, kemudian beranjak. Menghampiri Ilalang yang tengah memindahkan koper dan kardus-kardus lain ke depan pintu.

Tunggu, tadi Ilalang memanggilku apa? Sayang?

"Kamu barusan memanggilku apa?" tanyaku pada Ilalang, sebab masih setengah sadar dengan apa yang diucapkan lelaki itu.

Wajah Ilalang berganti cengengesan. Aku bahkan tidak yakin Ilalang adalah seorang dokter jika melihat ekspresinya yang seperti ini. Bahkan aku ragu usianya benar-benar sudah 27 tahun.

"Sayang." Ia mengulang panggilan, "Bolehkan?" tanya Ilalang dengan alis terangkat dan senyum ragu-ragu.

"Kamu tahu namaku, bukan? Jadi panggil nama saja," jawabku datar sambil membantunya mengambil sebuah tas ransel dari bagasi mobil.

Ilalang berdeham dan lagi-lagi ia menyulam senyum. Senyumnya seperti senyuman seseorang yang ikhlas saja atas apa yang aku inginkan. Entah kenapa, aku tidak suka. Aku tidak suka sosok tanpa perlawanan seperti Ilalang. Kenapa Ilalang tidak memaksa aku agar mengizinkannya memanggil sayang? Bukankah itu merupakan haknya?

Lelaki itu berlalu dan berjalan ke arah pintu. Membuka pintu rumah kemudian kembali menoleh. Ketika ia hendak membuka mulut untuk menyampaikan sesuatu, ponselnya berdering. Ia segera mengangkat telepon, berbicara dengan nada yang serius sambil membelakangiku.

Usai menelepon, Ilalang menatapku. Wajah Ilalang berganti serius dengan tatapan yang tidak aku mengerti. Aku hanya berusaha mengalihkan pandangan.

"Telepon dari rumah sakit. Pasiens yang aku operasi dua hari lalu kondisinya menurun dan saat ini sedang kritis. Aku harus ke rumah sakit."

Wajahku berganti bingung. Ilalang menjelaskan semuannya tanpa ditanya. Dan saat ini aku paham apa arti tatapan Ilalang beberapa detik lalu. Ia menatapku, berharap aku menanyakan tentang telepon yang baru saja ia terima. Sayangnya, aku tak bertanya, hingga ia terpaksa menjelaskan tanpa pertanyaan.

Ilalang (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang