Tiga belas

1.8K 108 0
                                    

Hal yang paling menyakitkan adalah mendengar kamu melindungiku hanya karena tugas darinya. Tidak bisakah kamu ada dalam hidupku karena alasan kamu ingin, bukan karena dia suruh?

Pukul 20.00 wib.

Sudah satu jam aku menunggunya. Bahkan jus alpukat yang kupesan sudah habis satu gelas. Beberapa pengunjung Resto ini juga sudah silih berganti. Mataku tak luput dari jam dinding berbentuk bunga yang terpajang di kanan dekat meja kasir. Sesekali jemariku mengetuk-ngetuk meja, menarik napas berat kemudian menggigit ujung sedotan plastik dari gelas jus yang telah habis.

Setengah jam lagi, jika wanita itu tak kunjung datang, aku akan pergi. Ku pegang ponsel, melihat-lihat layar. Membuka satu media kemudian beralih ke media lainnya. Tengah berusaha menepis rasa bosan. Satu pesan masuk dari Reva, ia mengabarkan kalau ia sudah keluar dari Rumah Sakit. Tanpa berpikir aku langsung meneleponnya.

"Assalamualaikum. Wah senang ya yang sudah keluar dari RS ini, hehe... Rev, main-main dong ke Pekanbaru, sepi nih... yaaa, itu mah masih lama... eh aku lagi di Resto tempat biasa kita ngumpul nih...." Tak sengaja aku keceplosan bercerita pada Reva. Ahh, seharusnya aku bisa menjaga mulut ini. Reva langsung bertanya macam-macam. Pilihanku hanya ada dua, jujur atau diam. Tidak, untuk saat ini, aku tak punya pilihan selain jujur. Terpaksa, kuceritakan pada Reva tentang Alana.

"Ya Allah, Kejora. Kamu kesambet apaan sih? Kok bisa-bisanya nemuin orang berbahaya? Tanpa izin suami lagi... pulang sana, sebelum kamunya kenapa-napa. Terus segera hubungi Ilalang. Kamu dan Ilalang itu suami istri, kalian harus saling terbuka. Terlebih hal macam Alana gini, nanti kalau kamu kenapa-napa gimana?" Reva mengoceh panjang lebar. Tentu saja ia memarahiku.

"Kejora, kamu tahu? Hal-hal yang kita sembunyikan dengan alasan takut membuat dia khawatir, suatu saat bisa saja menjadi hal yang membuatnya menyesal. Apa kamu lebih ingin Ilalang hidup dalam penyesalan dikemudian hari karena kamu?"

Aku menelan ludah. Tak pernah terpikir olehku bahwa ujung dari semua ini adalah sebuah penyesalan. Bathinku menyetujui kata-kata Reva. Aku tertunduk membayangkan wajah Ilalang. Hari ini, disaat ia sedang berjuang menjadi tenaga medis di Gaza sana, aku sebagai istri justru sedang berada di luar rumah. Tanpa izinnya.

"Kejora? Kamu masih disana?" Suara telepon Reva menyadarkan. Aku bergumam. Mengakui kesalahan dan menuruti nasihatnya. Ku lihat jam digital pada layar ponsel. Sudah pukul 9 malam. Sudah dua jam aku menunggu. Alana tidak datang. Dan rasanya ia tidak akan pernah datang. Wanita sepertinya, bukan tidak mungkin hanya mengundangku untuk bermain-main. Ahh, mengapa aku sampai tak terpikir akan itu?

Baru saja akan beranjak. Seorang pelayan Resto memberikan secarik kertas yang dilipat. Katanya, ada seseorang yang menitipkan kertas itu untukku.

Kau memang wanita bodoh. Haha.

Bagaimana rasanya menunggu?

Membosankan, bukan? Itulah yang aku rasakan.

Maka, jangan membuatku menunggu, Kejora.

Ilalang itu milikku.

- Alana Sabine –

Aku langsung menoleh ke sekitar. Menjamah bagian-bagian yang sekiranya merupakan tempat persembunyian wanita itu. Ya, adanya kertas ini membuktikan kalau wanita itu berada di sini. Ia pasti sudah memperhatikanku sejak tadi. Apa maunya? Kemarin mengajukan pertemanan lalu hari ini ia kembali berulah.

Ilalang (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang