Hidup itu harus terus berjalan. Jangan karena orang yang telah tiada, kamu menyia-nyiakan orang yang masih ada.
Aku dan Ilalang berdiri di bibir pantai. Menunggu gelombang ombak datang. Dan ketika gelombang ombak mendekat, kami berjalan mundur dengan cepat, menjauh, mencari titik yang tepat agar tidak terlalu banyak basah.
Ilalang tiba-tiba saja terjatuh ketika berjalan mundur. Ia terduduk dan alhasil ombak membasahinya hingga sepinggang. Aku tertawa dan meledek. Ia justru memercikkan air laut ke wajahku. Membuat aku balas memberikan air. Ketika ombak berikutnya datang, Ilalang justru menggendong dan membawaku mendekati ombak. Hingga ombak dan tubuhku terasa melebur jadi satu. Aku menjerit-jerit sambil memukul pundaknya, pelan, tetapi ia justru tertawa. Setelah puas, baru ia melepaskan gendongan dan menurunkan aku di tepi pantai.
"Jahat ih, basah kan," omelku dengan bibir mengerucut.
"Maaf-maaf," ucapnya memberikan tanda damai dengan jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian ia berlari ke ujung yang lain. Aku tidak mengejar. Aku justru mengarahkan pandangan ke sekitar.
"Kejora, sini!" panggil Ilalang. Aku berjalan mendekat. Ilalang tersenyum lebar memamerkan apa yang ia buat.
Aku hanya tersenyum. Memandang Ilalang sekilas lalu memandang apa yang ia buat. Lelaki ini benar-benar seperti anak kecil. Ia membuat gambar bentuk hati di pasir. Kemudian di dalam gambar hati itu ia menulis, 'Ilalang sayang Kejora'.
"Kejora! Ayolah! Kita kesini untuk bersenang-senang!" Reva setengah memekik hingga membuat aku tersentak. Lengkungan tidak simetris terasa merias wajah bersamaan dengan buyarnya lamunanku akan Ilalang. Lelaki itu, tentu saja masih lelaki itu.
"Kak Kejora, ayo!" teriak Jingga menambahkan.
Reva tampak melambai-lambai dengan tangan kanannya, sedang tangan kiri asyik memegangi gamis yang ia angkat sedikit agar tak terkena basahan ombak. Reza ikut melambai dengan senyum lebar. Jingga, anak itu tengah bermain air laut usai berteriak memanggil. Aku hanya mengangguk dan tersenyum ke arah mereka.
Dulu, aku pernah punya impian ke tempat ini bersama Reva, Reza, juga Ilalang. Sayang, saat Reva sudah di sini, justru Ilalang yang tidak ada. Suatu saat. Semoga saja suatu saat impian itu terkabul. Ilalang, aku benar-benar berharap banyak pada Allah untuk terus memanjangkan umurnya, membuat ia selalu sehat dan kelak bisa menemuiku.
"Hidup itu harus terus berjalan. Jangan karena orang yang telah tiada, kamu menyia-nyiakan orang yang masih ada."
Aku menoleh ke kanan. Suara sedikit berat yang tak asing. Orion, lelaki itu rupanya masih berada di sampingku. Ia tersenyum dan kali ini mengangkat satu alis. Bergaya sok keren dengan rambut gondrong yang di kuncir.
Tunggu, tumben sekali Orion mengeluarkan kata-kata bagus? Tertata dengan baik dan apik. Pasti itu ia kutip dari sebuah bacaan. Ahh, tapi Orion bukan tipe lelaki yang suka membaca.
"Itu kata-kata Ilalang waktu aku kehilangan ayah," lanjut Orion seolah memahami wajah bingungku. Aku hanya tersenyum ketika ia berkata demikian. Setengah senang menyadari itu adalah kata-kata Ilalang.
"Ya! Kalian kesini bukan untuk berdua-duaan di tepi pantai menikmati es kelapa, bukan? Ayo main ombak, nggak seru ke pantai kalau belum basah, Kak, Bang." Jingga tiba-tiba saja menghampiri dan mengomel. Ia bersungut hingga bibirnya maju satu senti. Aku tertawa. Orion langsung berdiri dan mengacak-ngacak pucuk kepala Jingga yang tertutup pashmina.
"Ayo!" ajak Orion menarik lengan Jingga dan melirik ke arahku. Aku tersenyum dan mengikuti. Sebagaimana kata Orion barusan, aku tidak ingin menyia-nyiakan orang yang ada di sisiku saat ini hanya karena orang yang sedang tidak berada di sini. Hidup harus terus berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilalang (COMPLETE)
SpiritualIlalang. Dia adalah lelakiku. Tepatnya, lelaki yang mencintaiku dengan teramat baik. Sosok suami idaman setiap wanita. Termasuk juga aku. Ya, siapa yang tak mau bersuamikan dokter tampan? Berakhlak baik juga taat pada Sang Khalik. Terlebih, sejak l...