Empat belas

1.8K 110 0
                                    

Gadis Impian! Oh Tuhan, kenapa tawanya membuatku terbayang-bayang lalu mengembangkan senyum sendirian? Sepertinya aku gila. Dia Kejora, 2009.

"Aku memang jauh, tetapi bukan berarti tidak ada. Kamu tahu itu kan, Kejora?"

Aku balas dengan kata maaf yang terucap amat pelan. Cemas. Panik. Khawatir. Kesal. Mungkin itulah yang dapat kutangkap dari suara Ilalang kali ini. Melalui ponsel abi, kami terhubung. Sebenarnya, sejak ia berada di Gaza, ia amat jarang menelepon. Hanya beberapa kali ia mengirimkan pesan suara dan juga foto melalui whatsapp untuk sekedar bercerita dan bertukar kabar. Katanya, ia sulit sekali mendapatkan kesempatan memainkan ponsel sebab pasiens dari korban peperangan terus berdatangan. Aku memberi pengertian akan itu. Lagi pula, aku juga bukan tipe wanita yang suka diberikan pesan setiap saat.

"Kejora?" Kali ini suara Ilalang berganti pelan. Aku menyahut dan ia balas bergumam, seperti tengah memikirkan apa yang hendak ia ucapkan.

"Kata abi, kamu hamil?" Lagi, aku hanya balas dengan gumaman. Ia melanjutkan, "Maaf karena aku tidak bisa berada di dekatmu pada saat-saat seperti ini ya? Jujur, aku tidak pernah merasakan rindu yang sebegini hebatnya. Rasa ini aneh. Ia menuntut sebuah pertemuan." Ia tertawa kecil. Aku masih diam saja mendengarkan. Ku lihat sekilas abi, umi, Orion dan Jingga yang mengobrol di sofa tak jauh dari ranjang. Bila Ilalang menuntut temu, maka aku tengah menuntut sebuah cerita panjang tentang Alana.

"Ilalang," panggilku. Ia menyahut. Aku mulai bercerita singkat tentang Alana. Ia hanya diam mendengarkan. Hingga, kuputuskan untuk meminta kembali penjelasan tentang Alana. Sesuai anjuran Orion, jika kita ingin seseorang terbuka dengan kita, maka kita juga harus terbuka pada orang tersebut.

Jingga mengakui kesalahannya karena ia yang memberitahu tentang aku pada Alana. Sebab, Jingga tak tahu bahwa Alana yang ia kenal dulu dan Alana yang ia kenal sekarang telah berbeda. Orion dan Ilalang merahasiakannya dari Jingga. Dan bahkan, Orion mengelak untuk memberiku penjelasan. Ia justru menyuruhku untuk meminta pada Ilalang. Alasannya konyol, ia bilang, Ilalanglah orang yang tepat dalam membicarakan tentang Alana. Aku merasa seperti bola. Diopor kesana kemari.

"Dokter, ada dua pasiens anak-anak mengalami luka tembak yang akan segera dibawa kemari, dokter Lukman menyuruh dokter Ilalang untuk segera ke UGD." Samar aku mendengar suara perawat wanita menggunakan bahasa Indonesia dari seberang sana. Ilalang tak menjawab pertanyaanku. Ia menutup ponsel usai mengucapkan salam secara terburu-buru. Bahkan aku belum sempat menjawab salamnya.

Aku melirik ke arah umi. Beliau mendekat dan membantu mengambil ponsel yang kupegang dekat telinga. Tanganku sedikit kesulitan untuk kembali ke posisi semula tanpa bantuan orang lain.

***

Terbaring di rumah sakit adalah hal yang tidak kusukai. Memang, ketika ada yang menjenguk, suasana berganti ramai dan hangat. Tetapi, sekalinya mereka semuaa pergi? Ruangan ini sunyi, sepi dan dingin.

Selama aku di rawat, Orion dan Jingga adalah orang yang paling sering datang setelah abi dan umi. Rekan-rekan kerja dan beberapa teman sekolah serta kuliah juga ikut datang. Reva kemarin ngotot hendak datang, tetapi kucegah karena ia masih dalam pemulihan. Dan, tak hanya itu, mami dan papi Ilalang kemarin berkunjung. Mereka senang sekali mendengar kabar aku hamil. Mereka bahkan bermalam disini menemaniku bersama abi dan umi. Ah ya satu lagi, bunda Orion, beliau turut datang beberapa kali.

Hari ini aku keluar dari Rumah Sakit. Tetapi, aku justru tidak senang. Ini kali pertama aku merasa tidak senang ketika keluar dari Rumah Sakit. Kalian mau tahu kenapa? Kemarin, saat semua orang berkumpul di sini, mereka ternyata tak sekedar menjenguk. Mereka membuat sebuah keputusan besar. Keputusan yang didasari oleh permintaan Ilalang.

Ilalang (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang