Sembilan

2.1K 111 7
                                    

Jantungku memang lemah, tetapi aku punya Allah yang Maha Kuat, yang akan memberi kekuatan untuk Hidupku. Kekuatan yang lebih kuat dari sekedar detakan jantung. -Reva

"Innalillahi wa innailaihi rajiun .... " Terucap amat pelan. Tanganku bergetar memegangi ponsel. Seketika tubuh terasa lunglai. Lutut menjadi lemas. Sesaat, rasanya aku berhenti bernapas.

Suara bergetar dari arah seberang masih terdengar. Aku hanya sanggup menyahut dengan gumaman. Lalu membalas salam dan suara telpon terputus. Kuletakkan ponsel di atas nakas. Kemudian kembali duduk di atas sajadah, melanjutkan zikir petang, lalu menengadah untuk memohon pada Allah.

Tadi aku tengah berzikir ba'da sholat Ashar. Telepon berdering berulang kali, hingga akhirnya aku menghentikan sejenak aktivitasku dan mengangkat telepon. Sebelum mengangkat, aku membaca nama Reza pada layar ponsel. Hatiku sudah berdetak lebih dulu ketika itu. Namun, aku masih berusaha menjawab telepon Reza dengan tenang.

Reza adalah suami Reva. Ia amat jarang meneleponku. Pertama kali ia menelepon dulu, ia bertanya soal kesukaan Reva dan kado apa yang sekiranya disukai Reva. Selanjutnya, ia menghubungi ketika melaporkan keadaan Reva pasca melahirkan. Terakhir ia menghubungiku ketika Reva pingsan dan masuk Rumah Sakit. Dan hari ini, ia meneleponku, mengabarkan kalau Reva sedang kritis di Rumah Sakit. Suaranya lebih bergetar dari saat terakhir ia menelepon dulu. Lebih terdengar khawatir bahkan sampai ketahap takut.

Selesai berdoa, aku melipat mukena dan sajadah dengan tangan yang masih bergetar. Tidak kupungkiri pula, bahwa kecemasan menyelimutiku sekeras apapun aku berusaha tenang. Ku telepon Ilalang, meminta izin padanya agar aku dapat mengunjungi Reva di Rumah Sakit Padang. Ilalang tak mengizinkan jika aku pergi naik travel atau bus sendirian, ia memintaku untuk menunggunya hingga ia pulang. Aku menuruti.

Sambil menunggu Ilalang pulang, aku menelepon pihak Klinik, meminta izin libur kerja karena ada kemalangan. Syukurnya pihak Klinik mengizinkan. Lalu aku menelepon Umi, menceritakan tentang Reva. Umi juga terdengar sedih dan cemas. Ku katakan kalau aku dan Ilalang akan pergi ke Padang menjenguk Reva, Umi setuju dan memberi nasihat agar kami tidak terburu-buru di perjalanan. Tetap harus hati-hati, tenang, selalu berzikir dan memohon perlindungan serta kesembuhan dari Allah, begitu pesannya.

Pukul 17 lewat beberapa menit, terdengar suara mobil Ilalang masuk ke garasi. Aku pun sudah selesai berkemas dan sudah memasang ransel. Berlari ke luar rumah. Hendak mengajak Ilalang agar segera berangkat. Namun, langkahku terhenti di teras rumah. Melihat Ilalang tak pulang sendirian. Ia bersama Orion.

"Kamu sudah siap?" Ilalang melihat aku yang sudah menyandang ransel dan sudah berpakaian rapi dengan setelan gamis berwarna coklat susu.

Aku mengangguk. Kulirik sekilas Orion kemudian kembali melihat Ilalang, seolah bertanya mengapa ia membawa serta Orion.

"Oh ya, aku sengaja mengajak Orion, karena aku tidak tahu jalan dan kata Orion, jalan menuju Padang banyak jurang. Orion sudah beberapa kali menempuh perjalanan menuju Padang, jadi kurasa dia orang yang tepat untuk ikut bersama kita. Lagi pula dia juga punya banyak waktu luang, tidak apa, kan?"

Ya ampun. Apa yang ada di pikiran Ilalang? Mengapa bisa-bisanya ia membawa Orion? Apakah Ilalang lupa kalau istrinya ini masih mencintai Orion? Apakah ia tak ingat kalau jantung istrinya bisa berdegup berkali-kali lipat saat bersama Orion? Tetapi aku justru mengangguk dan berkata tidak apa-apa, mencoba bersikap biasa saja dan belajar mengendalikan diri. Terlebih alasan Ilalang memang masuk akal.

"Tenang, aku nggak akan ganggu kebersamaan kalian kok. Aku akan jadi supir yang berpura-pura tidak tahu apa yang kalian lakukan," ucap Orion , sok tahu tentang apa yang aku khawatirkan. Padahal semua yang diucapkannya bukanlah sesuatu yang aku khawatirkan. Aku hanya balas tersenyum karena sedang tidak ingin berdebat atau bercanda.

Ilalang (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang