Kejora. Hari ini aku kembali mengunjungi semua akun sosial mediamu. Melihat-lihat dan mencari tahu. Melepas rindu dari dua tahun yang begitu berat.
"Kejora."
"Ya?"
"Aku ingin dengar kamu bilang sayang sama aku. Boleh?"
"Aku akan mengatakannya secara langsung. Nanti ketika kamu pulang."
"Sungguh?"
"Ya."
"Bukan karena kamu tidak bisa mengatakannya saat ini, kan? Bukan karena kamu memang belum bisa mencintaiku, kan? Bukan karena kamu-" Ia terhenti dari pertanyaan beruntun yang ia ajukan. Sejenak saja langsung ia menyambung kembali, "Apa kamu masih mencintai Orion?"
Aku menelan saliva. Tidak paham mengapa tiba-tiba saja Ilalang meneleponku dini hari dan mengajukan percakapan semacam ini.
"Kamu tahu jawabannya, Lang."
Aku mendengar suara tawa kecilnya ketika itu. Bukan tawa gembira. Jelas bukan tawa gembira. Lebih terdengar putus asa. Samar aku juga mendengar ia terisak pelan. Aku enggan bertanya. Sebab aku tahu, pertanyaan semacam 'apa kamu baik-baik saja?' hanyalah pertanyaan konyol yang kita tanyakan pada seseorang saat secara jelas orang itu menunjukkan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.
"Maafkan aku."
"Bukan salahmu."
Aneh. Saat itu percakapan kami aneh. Dinggin dan kaku. Persis seperti kami baru saja mengobrol untuk pertama kalinya setelah menikah dulu.
"Kejora."
"Ya?"
"Nanti, jika aku pergi lebih dulu, aku ikhlas jika kamu menikah dengan Orion."
"Kamu bicara apa? Aku tidak akan pernah melakukannya."
"Kenapa?"
"Karena aku hanya ingin menjadi bidadarimu di Surga."
"Sungguh?"
"Ya."
"Aku benar-benar tidak sabar untuk pulang dan bertemu denganmu. Aku juga ingin berkenalan dengan calon anak kita. Aku sungguh-sungguh mencintaimu, Kejora."
"Aku tahu. Sudah. Tidurlah. Kupikir kamu tengah lelah dan mengingau. Di sini pukul empat subuh, itu artinya di sana pukul dua belas malam, kan?"
"Ya. Aku akan tidur. Assalmualaikum."
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatu."
Percakapan kami terputus.
Hari ini tanggal 4 November. Sejak kamarin, aku sudah kembali tinggal di hunian kami. Sendirian dalam tunggu adalah bagian paling sepi dari hidupku. Satu hari lagi Ilalang pulang.
Empat hari telah berlalu sejak percakapan aneh itu. Anehnya lagi, Ilalang tak pernah lagi memberi kabar. Ponselnya tidak dapat dihubungi. Rasanya aku ingin melapor pada Polisi. Tetapi umi melarang. Beliau bilang, aku terlampau berlebihan. Masa baru empat hari tanpa kabar dari suami langsung melapor polisi? Seharusnya aku menunggu saja dulu. Bisa saja Ilalang benar-benar sibuk hingga tidak bisa menghubungi. Begitulah ocehan Umi.
Ilalang itu suamiku. Aku paham benar bagimana suamiku. Sudah kukatakan kalau Ilalang tidak pernah tak berkabar dalam sehari. Sesibuk apapun ia. Sepahamku begitu. Kecuali jika aku salah memahami Ilalang. Eh tunggu. Aku ingat! Dulu. Dulu sekali. Ilalang pernah tak berkabar. Ketika ia marah usai peristiwa mendengar detak jantungku yang berdegup untuk Orion. Ya, itu karena ia marah. Kali ini Ilalang tak sedang marah. Jadi seharusnya ia berkabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilalang (COMPLETE)
SpiritualIlalang. Dia adalah lelakiku. Tepatnya, lelaki yang mencintaiku dengan teramat baik. Sosok suami idaman setiap wanita. Termasuk juga aku. Ya, siapa yang tak mau bersuamikan dokter tampan? Berakhlak baik juga taat pada Sang Khalik. Terlebih, sejak l...