Empat

2.5K 160 3
                                    

Kita adalah dua orang bodoh yang dijodohkan oleh Allah. Ya, kamu bodoh karena mencintai dia dengan sangat dan aku bodoh karena mencintaimu yang jelas-jelas mencintai dia. - Ilalang

"Kejora," panggil Amel sambil menepuk pundakku pelan.

"Ha? Mmm, ya? Ada apa?" jawabku tak tentu sebab baru saja tersentak dari pikiran-pikiran yang mengusik beberapa hari ini.

"Aku tadi bertanya, apa kamu baik-baik saja?" Amel melangkah ke depan lalu duduk di bangku yang berhadapan denganku. Sementara aku masih memegang ponsel serta melihat lembar penilaian.

"Sepertinya tidak, Mel. "

"Kamu ada masalah dengan suamimu?"

Aku bergumam pelan, "Begitulah," sahutku lagi. Kali ini sambil mengetik laporan sesi pada ponsel.

Amel balas dengan gumaman yang lebih panjang.  Kemudian ia berkata, "Apa pun itu, kamu harus profesional dalam bekerja, Kejora. Masalahmu jangan terbawa hingga teaching session. Kasihan anak yang sedang kamu terapi." Aku melihat wajah Amel yang tampak serius. Kalau untuk urusan pekerjaan, Amel  sangatlah profesional dan tampak bijak.

"Ya, maafkan aku. Ini yang pertama dan terakhir," balasku meyakinkan. Aku sadar benar bahwa aku memang menuai banyak kesalahan selama teaching session berlangsung pagi ini. Beberapa kali aku nyaris lupa melakukan Establishing Operation ketika anak berespon benar pada rangkaian Discrete Trial Training. Untung saja, Amel yang menjadi asisten terapisku cepat dalam mengingatkan. Dan bahkan aku merasa reward yang kuberikan pada Kevin-anak yang tengah kuterapi pagi ini, kurang 3E.

Masalah yang ada di pikiran ini sudah berlangsung beberapa hari. Hanya saja, kemarin-kemarin aku masih bisa meninggalkannya di luar dan bersikap profesional. Sayang, sepertinya hari ini masalah itu tak mampu lagi kubendung. Pikiran ini meluap-luap dan rasanya ingin kutumpahkan.

Kalian ingat saat Ilalang mendengar detak jantungku yang berdegup kencang untuk Orion? Dia pergi saat itu dan meninggalkanku begitu saja. Tidak kembali. Tidak memberi kabar. Ini hari ke-enam sejak hari itu. Kemarin-kemarin dia masih pulang, masih berbaik hati mengantar dan menjemputku, meski tak ada berbincangan di antara kami. Tegur sapa di antara kami hanya sebatas saling berbalas salam. Itu saja.

Jauh dari relung hati, aku ingin memulai pembicaraan lebih dulu. Namun, aku takut. Wajah Ilalang banyak berubah sejak hari itu. Terlalu dingin dan menyeramkan. Tanpa senyuman. Dan tak pernah menoleh ke arahku. Apa ia sebegitu marahnya? Apa sebegitu salahnya aku? Padahal, jika mampu mengendalikan jantung, aku juga tidak mau ia berdetak seperti itu untuk Orion. Aku juga tidak ingin Ilalang bisa mendengarnya. Tetapi apa daya? Bukankah jantung yang berdetak kencang itu adalah stimulasi dari dalam diriku sendiri? Bukan aku yang mengatur dan mengendalikannya. Ilalang seorang dokter, seharusnya ia paham itu, bukan?

Tadi pagi, karena bulan wanitaku sudah pergi, aku bangun pukul tiga. Sengaja lebih cepat agar aku bisa membangunkan Ilalang, mengajaknya sholat bersama lalu meminta maaf. Niatnya begitu. Namun, kalian tahu? Ilalang tidak ada di kamarnya. Ia tidak ada di rumah. Ia tidak pulang. Dan tanpa kabar.

Terlintas dalam benak, apa aku meminta Ilalang untuk menceraikan aku saja? Agar ia tak merasakan sakit yang lebih lagi? Tetapi, aku takut dimarahi Allah, sebab Allah sangat membenci Perceraian.

Umi meneleponku saat istirahat makan siang. Tentu saja bukan sekadar untuk bertanya kabar. Umi hendak memastikan sudah sampai mana persiapan kami mengurus resepsi pernikahan dan kapan tanggal pasti ingin diselenggarakannya. Selain itu, Umi juga menanyakan persoal bulan madu dan lainnya.

Ilalang (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang