"Apa? Aku tak pernah punya ibu dan ayah." Jihoon.
°°°
"Maaf, Hyung. Tapi aku membenci takdirku."
Minhyun menatap heran pada Jihoon. Baru saja Jihoon mengatakan padanya untuk percaya dan pasrah akan takdir, tapi kenapa Jihoon malah mengatakan jika ia benci dengan takdirnya? Jihoon mengatakan hal yang sebaliknya.
"Ke- kenapa, Hoon? Apa terjadi sesuatu yang buruk? Kalau kau mau, kau bisa ceritakan padaku." Minhyun menarik kedua tangan Jihoon.
Jihoon hanya diam. Mengalihkan pandangannya dari Minhyun. Rasa takut dan benci kembali muncul, bergejolak kuat di hatinya. Jihoon sangat tak ingin mengingat-ingat lagi kehidupan kelamnya sebelum tinggal di rumah Haneul ini.
"Jihoon?"
"Semuanya terlalu menyakitkan untuk diingat, Hyung. Aku tak mau mengingatnya lagi!"
Dapat Minhyun rasakan, tangan Jihoon kini berkeringat dingin. Minhyun menarik pelan dagu Jihoon hingga netra itu menatapnya. Minhyun menatap dalam-dalam mata pemuda manis ini. Sedikit terperanjat, Minhyun merasakan sesuatu yang menyesakkan di sana. Tergambar jelas jika Jihoon benar-benar memiliki luka yang dalam.
"Hoon, paling tidak kau bisa mengurangi bebanmu. Sedikit saja, Jihoon." Minhyun membujuk pelan.
Tesss...
Air mata itu pun akhirnya terjatuh. Walau hanya setetes, tapi itu terlihat sangat berat. Jihoon menundukkan kepalanya. Mencoba menyembunyikan luka lamanya dari Minhyun. Jujur, sekuat apapun Jihoon mencoba melupakan luka itu, nyatanya luka tersebut malah makin dalam menggores hatinya.
Minhyun menarik Jihoon dalam pelukannya. Mencoba menenangkan pemuda itu dengan tepukan ringan di punggungnya. Tak berucap selama Jihoon belum memulai. Minhyun juga tak peduli pada pakaiannya yang sudah basah karena air mata Jihoon terus menetes tanpa isakan.
"Agh!" Jihoon merintih. Mengagetkan Minhyun yang masih setia memeluknya.
Sekelebat bayang kenangan masa lalu, tiba-tiba melintas di kepala Jihoon. Jihoon menggigil ketakutan. Tubuh mungilnya bergetar di pelukan Minhyun. Keringat dingin yang mengalir banyak pun menyatu dengan air matanya.
"Tenang, Jihoon-ah! Semuanya baik-baik saja. Tarik napasmu, Hoon!"
Jihoon melakukan apa kata Minhyun. Menarik dalam napasnya. Dan terus mencoba mengontrol perasaannya.
"Sudah lebih baik?" tanya Minhyun. "Mau kuambilkan minum?"
"Tidak perlu, Hyung. Aku baik-baik saja," jawab Jihoon.
Minhyun mengangguk mengerti. Melihat Jihoon yang seperti ini, rasa ingin tahunya tentang latar belakang Jihoon langsung lenyap begitu saja.
"Maaf, Hyung." Jihoon.
"Maaf untuk apa? Aku yang seharusnya minta maaf. Jika kau tak ingin menceritakannya, tak apa, Hoon. Sekarang beristirahatlah!" kata Minhyun.
Minhyun menuntun Jihoon untuk kembali ke tempat tidurnya. Menyuruh Jihoon untuk berbaring, dan memasangkan selimut pada pemuda itu. Menggenggam tangan Jihoon menguatkan. Lalu berdiri untuk mematikan lampu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful || Wanna One [Complete]
أدب الهواةRumah Haneul. Bukanlah hanya sekedar rumah biasa. Rumah milik wanita berusia 50 tahun itu telah banyak memberikan mereka-yang tinggal di sana-kenangan yang luar biasa berharga. Kebersamaan. Kekeluargaan. Sedih bersama, bahagia bersama. Meski mereka...