"Ayahku sudah pergi ke surga sejak aku kecil. Eomma menitipkanku pada Hyu Ra Eommoni. Eomma mengatakan akan datang menjemputku. Jadi aku akan menunggu Eommaku datang." Daehwi.
•••
Jaehwan baru saja selesai mandi malam itu. Ketika masuk ke dalam kamar, ia dibuat heran saat mendapati Daehwi yang termenung di atas tempat tidurnya. Sembari mengeringkan rambutnya yang basah karena habis berkeramas, Jaehwan menghampiri Daehwi dan duduk di tempat tidur yang sama.
"Kau kenapa? Sakit?" tanya Jaehwan.
Daehwi hanya menggeleng sekali. Tidak ada semangat sama sekali untuk menjawab pertanyaan Jaehwan. Bahkan ia diam saja saat Jaehwan menempelkan punggung tangan di keningnya. Bermaksud untuk mengecek suhu tubuh Daehwi. Takut-takut jika anak itu sakit.
"Tidak panas juga. Lalu kenapa? Apa ada masalah?" tanya Jaehwan lagi.
"Tidak apa-apa, Hyung. Aku hanya merindukan appa dan eomma saja," jawab Daehwi lesu.
Jaehwan terdiam. Mengikuti arah pandang Daehwi yang tertuju pada sebuah bingkai foto kecil yang ada ditangannya. Jaehwan mengangguk sedikit. Mengerti apa yang sedang dirasakan oleh Daehwi.
"Tenang saja. Ibumu pasti akan datang," ucap Jaehwan menenangkan. Jaehwan hanya tidak ingin Daehwi terus bersedih karena ibunya yang tak kunjung menjemputnya.
Daehwi tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk lesu, mengiyakan apa saja yang dikatakan oleh Jaehwan.
"Sudah. Sekarang tidur saja. Cepat!"
Jaehwan bangkit. Menepuk bahu Daehwi sebelum ia meninggalkan Daehwi untuk beralih ke tempat tidurnya sendiri. Langsung naik ke tempat tidur setelah melempar haduknya yang basah ke kursi. Menarik selimut lalu mematikan lampu tidur yang ada di meja dekat tempat tidurnya. Namun, Jaehwan masih terpikirkan dengan Daehwi. Ia lirik Daehwi bahkan masih belum bergerak. Memandangi bingkai foto berisi potret dirinya bersama dengan kedua orang tuanya.
"Ibumu belum menghubungimu?" tanya Jaehwan. Matanya memandang langit-langit kamar yang dua belas tahun terakhir menjadi tempatnya terlelap setiap malam. Rumah yang telah memberikannya kehangatan serta perlindungan dan juga kasih sayang.
"Ya, Hyung. Masih belum." Daehwi.
"Sudah meminta tolong Eomma?"
"Sudah. Tapi sepertinya nomor ibuku sudah tidak aktif. Tidak bisa dihubungi lagi," jawab Daehwi.
"Mungkin ibumu masih sibuk," ujar Jaehwan. Mencoba memberikan pemikiran positif pada Daehwi.
"Ya, mungkin saja, Hyung."
"Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan, Daehwi-ya."
"Aku terus saja terpikirkan dengan apa yang dikatakan Seongwoon Hyung siang tadi. Aku takut, Hyung," jawab Daehwi yang menunduk.
"Seongwoon Hyung?" Jaehwan mengernyit. Lalu bangkit dari baringnya.
"Eum. Aku takut jika apa yang dikatakannya akan menjadi nyata. Bahwa eomma tidak akan menjemputku. Dengan kata lain, eomma sengaja membuangku. Aku takut, Hyung."
"Seongwoon Hyung jahat sekali. Jangan dengarkan apa yang dia katakan, Lee Daehwi. Ibumu pasti akan datang." Jaehwan sedikit menaikkan nada bicaranya. Merasa tidak suka dengan apa yang telah Seongwoon katakan pada Daehwi. Jahat, begitu pikirnya.
Daehwi mengangguk. Jujur, memang setelah mendengar curahan hati Seongwoon siang tadi, Daehwi jadi terpikirkan oleh salah satu kalimat yang sempat keluar dari bibir Seongwoon. Ia takut. Sangat takut. Apa yang menimpa Seongwoon akan terjadi juga padanya. Ditambah lagi sang ibu yang belum menghubunginya satu tahun terakhir.
Seperti apa yang sempat dikatakan oleh Jaehwan tadi, mungkin ibunya sedang sibuk bekerja, itulah pikiran positif Daehwi selama ini. Tapi setelah mendengar cerita Seongwoon, ia jadi khawatir. Daehwi ingin menepis rasa itu, tapi tidak bisa hilang sama sekali. Semakin ia ingin menghapus kalimat itu, semakin Daehwi ketakutan.
"Aku tidak bisa bayangkan jika ibuku benar-benar pergi dariku, Hyung. Yang kupunya hanyalah dia." Suara Daehwi terdengar bergetar dan Jaehwan tahu itu.
"Hei, jangan berpikiran seperti itu!"
"Ayahku sudah pergi ke surga sejak aku kecil. Eomma menitipkanku pada Hyu Ra Eommoni. Eomma mengatakan akan datang menjemputku. Jadi aku akan menunggu Eommaku datang." Daehwi.
"Benar, Daehwi. Semua akan baik-baik saja," kata Jaehwan yang sudah turun dari tempat tidurnya, ia kembali menghampiri Daehwi. Duduk di dekat Daehwi lalu memberikan sebuah pelukan hangat untuk teman sekamarnya itu. Menepuk-nepuk punggungnya, menegaskan jika semuanya akan baik-baik saja.
"Iya, Hyung. Ibuku sekalipun tidak pernah berbohong padaku. Jadi, aku yakin ibuku akan datang menjemputku suatu hari nanti." Daehwi melepas pelukannya dan tersenyum pada Jaehwan. Seolah ingin memberitahu jika ia sudah baik-baik saja.
Jaehwan balas tersenyum. Mengusap-usap pelan puncak kepala Daehwi. Siapa yang tahu, di dalam hatinya, Jaehwan tengah menangis. Menangis iri pada sosok yang ada di depannya itu. Karena Daehwi masih beruntung ketimbang dirinya. Yang sama sekali tidak mengenal siapa keluarganya.
"Jaehwan Hyung?!"
Lamunan Jaehwan langsung buyar, saat Daehwi berteriak memanggilnya. Sebenarnya Jaehwan tidak benar-benar melamun, ia mendengar Daehwi tadi, tapi hanya saja Jaehwan sedang menata hatinya yang tiba-tiba sendu.
"Iya, ada apa?" tanya Jaehwan.
"Apa kau tahu bagimana masa lalu Seongwoon Hyung? Sebagai anak yang sudah tinggal di sini lebih lama, seharusnya kau tahu kan, Hyung?"
Jaehwan mengernyit. Sebetulnya, sejak tadi ia ingin menanyakan tentang hal itu pada Daehwi. Terlebih saat bercerita tadi, Daehwi membawa-bawa nama Seongwoon. Bukan, bukan apa-apa. Tentu saja Jaehwan tahu masa lalu Seongwoon.
Sebagai salah satu anak yang lebih lama tinggal di Rumah Haneul daripada Seongwoon, Jaehwan pasti sudah tahu. Yang membuat Jaehwan heran adalah, yang ia tahu Seongwoon tidak pernah terlihat dan mau lagi menceritakan masa lalunya pada orang-orang. Hanya Hyu Ra, Jisung, Minhyun, Woojin dan juga dirinya yang tahu tentang masa lalu Seongwoon. Bagi Seongwoon, kenangan itu terlalu pahit. Kalaupun Seongwoon ingin menangis lagi karena kenangan itu, pasti ia akan mencari Hyu Ra. Menangis sejadi-jadinya di dalam dekapan hangat Hyu Ra. Ya, itu yang Jaehwan tahu.
"Memangnya ada apa?" tanya Jaehwan.
"Tidak. Aku hanya kasihan pada Seongwoon Hyung. Aku tidak tahu ternyata dia yang seceria itu punya masa lalu yang pahit seperti itu," kata Daehwi menunduk. Sedih ketika mengingat cerita Seongwoon tadi siang.
"Ya, kau benar. Tidak ada yang tahu bagaimana masa lalu seseorang kecuali mereka sangat dekat." Jaehwan.
"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Seongwoon Hyung saat dulu. Aku salut padanya karena bisa menyembunyikan lukanya yang parah di depan orang-orang."
"Tidak sedikit orang yang terlihat ceria di luar, sering tertawa lepas, suka bercanda dan menghibur orang. Nyatanya itu ia sedang berusaha menghibur dirinya sendiri."
"Kau benar, Hyung. Lalu, bagaimana denganmu, Hyung?"
Jaehwan terhenyak. Senyum tipis yang tadi ada di wajahnya untuk sejenak menghilang. Namun hanya selang beberapa detik, ia ukir lagi senyum itu. Ia tidak ingin terlihat sedih di depan Daehwi. Meskipun luka di hatinya saat ini sedang terbuka lagi.
"Aku?"
"Iya. Apa kau tidak keberatan untuk bercerita tentang bagaimana kau bisa sampai di sini, Hyung?"
Jaehwan tersenyum, "Kau itu jauh lebih beruntung daripadaku, Lee Daehwi."
To be Continued!
Beautiful by Utii Han
14 Maret 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful || Wanna One [Complete]
FanficRumah Haneul. Bukanlah hanya sekedar rumah biasa. Rumah milik wanita berusia 50 tahun itu telah banyak memberikan mereka-yang tinggal di sana-kenangan yang luar biasa berharga. Kebersamaan. Kekeluargaan. Sedih bersama, bahagia bersama. Meski mereka...