8. Sebuah Penyesalan.

44 2 0
                                    

"Bersyukurlah atas apa yang telah kamu miliki. Jangan pernah meminta lebih atau suatu saat kamu akan menyesal sendiri di kemudian hari."

❤❤❤


Arneta berulang kali melihat arloji di pergelangan tangan dengan ekspresi wajah yang menggemaskan.

Sedari tadi ia menunggu sang kekasih yang katanya akan datang menjemputnya sore ini.

Sudah satu jam lebih Arneta menunggu. Membuatnya tak bisa diam. Sesekali celingukan dan mondar-mandir untuk memastikan apakah kekasihnya itu sudah menampakan diri.

"Ta, lo belum pulang?" tanya Marsha yang baru keluar dari tempat pekerjaan.

"Nunggu jemputan," jawab Arneta dengan senyum tipis.

"Oh." Marsha berkata sambil mengangguk kecil. "Yaudah, kalau gitu gue duluan ya."

Setelah itu Marsha berlalu pergi dari hadapan Arneta selepas menepuk pundak rekan kerjanya itu pelan.

"Iya hati-hati, Sha." Arneta menyunggingkan senyum menatap punggung Marsha yang kian menjauh.

Arneta melihat Marsha di parkiran bersama kekasihnya yang selalu datang menjemput rekan kerjanya itu tepat waktu. Tidak seperti dirinya yang harus selalu menunggu. Pikirannya pun jadi menerawang ke mana-mana ketika memikirkan kekasihnya yang sekarang entah di mana, dengan siapa, dan sedang apa. Andai saja....

"Hai sayang, maaf udah buat nunggu lama." Dias datang, membuat Arneta terlonjak kaget saat itu juga.

Pria itu membuka helm-nya sebelum tersenyum manis ke arah Arneta dengan memasang wajah tanpa dosa.

"Kamu ke mana aja sih?! Lama banget deh!" ketus Arneta sembari melipat tangan di depan dada.

"Abis ngegodain janda sebelah rumah. Kasian, ditinggal sama suaminya terus-terusan jadi kurang kasih sayang. Yaudah, aku deketin aja. Siapa tahu dapat rezeki yang tak bisa dibayangkan." Dias menjawab dengan ekspresi wajah yang sangat menyebalkan.

Arneta merasa jengkel setelah mendengar penjelasan dari Dias yang mampu membuatnya naik darah. "Nyebelin banget ih." Arneta memukul Dias dengan tas yang sedang ia bawa berulang kali.

"Aww ... sakit yang, sakit. Ampun deh, ampun!" Dias meringis kesakitan sambil memohon dengan wajah yang terlihat jenaka.

Tanpa di sadari, kini mereka berdua jadi pusat perhatian semua orang yang berada di luar kantor. Orang-orang yang ada di sana itu macem-macem seperti ada yang sedang menunggu angkot, jemputan, dan lain sebagainya.

Merasa diperhatikan, Arneta akhirnya menghentikan aksinya untuk memberi pelajaran kepada Dias yang telah membuatnya menunggu berjam-jam. Andai saja Dias tahu kalau menunggu itu melelahkan.

Dias turun dari motornya tuk meminta maaf sambil mencium tangan kanan Arneta lembut. "Maafkan aku yang terlalu jujur padamu."

Arneta diam. Dia cemberut.

"Yang ih, jangan diam aja. Aku kan udah minta maaf, masa kamu gak mau ngemaafin? Tuhan aja Maha Pemaaf kok." Dias mendekati Arneta dengan merangkulnya dari samping.

"Lepasin ih. Aku pengen pulang." Arneta menepis lengan Dias kasar.

"Tapi di maafin dulu gak?" tanya Dias menatap Arneta gemas.

"Iya deh di maafin." Arneta menjawab dengan wajah kesal.

"Gak usah di maafin deh kalau gak ikhlas," ujar Dias sembari menaiki sepeda motornya.

Arneta memeletkan lidahnya saat Dias memunggunginya. "Iya di maafin kok Dias baik sampai-sampai tetangga sebelah aja di godain." Nada suara Arneta sedikit menyindir.

Cinta Sejuta Rasa (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang