9.

331 67 32
                                    


























"Min Yoongi."

Yoongi berani bersumpah Tuhan tengah mempermainkan dia saat ini. Dari miliaran kafe bertebaran di Korea, kenapa harus Epilogue yang Jimin datangi?

"Dua èclairs, satu kue gandum, Giant Raspcilicous Frappe, Giant cup Koreano, dan satu jam waktu kamu."

"Semuanya jadi 225 ribu," Yoongi menjawab, dengan senyum yang biasa ia bagikan untuk pelanggan. "Atas nama?"

"Park-- satu jam, Min Yoongi."

"Mohon tunggu pesanan anda di meja sebelah sana, Tuan Park, masih ada pelangg--"

"Saya terus disini selama kamu belum keluar dari tempat sana, lalu duduk dengan saya. Satu jam." Jimin menyilangkan kedua tangan di depan dada, ekspresi diperlihatkan sesantai mungkin agar Yoongi yakin kalau dia memang akan berdiri disitu dan menahan antrian.

Yoongi menggertakkan gigi, merasa terganggu dengan Jimin yang sudah kembali arogan. Dia sayang Jimin, demi Tuhan, tapi pria ini bukan pria yang mudah untuk disayangi. Pria ini lebih mudah untuk dibenci, namun Yoongi benar-benar tidak bisa. Sama dengan ketidakmampuan Yoongi untuk menolak apapun yang Jimin ingin darinya. Lemah sekali terhadap seluruh pesona seorang pria langit, selalu terhanyut dalam gravitasi seorang Park Jimin.

Persetan kamu, Park Jimin, rutuk Yoongi dalam hati. Tapi, dia tetap memanggil Tzuyu yang baru keluar dari dapur untuk membantu dia handle kasir sementara. Tzuyu hanya mengangguk kecil, lebih sibuk terkesima dengan Jimin dibanding menjawab Yoongi.

Jimin, si bangsat sialan, tentu saja memanfaatkan hal ini.

"Halo-- Tzuyu?" Jimin melihat ke manik Tzuyu dengan lekat, senyum luar biasa menawan saat Tzuyu mengangguk konfirmasi atas nama yang Jimin lihat dari nametag. "Maaf apa kami ganggu?"

"E-eh, eh, um, engga kok, engga sama sekali," Tzuyu menggeleng cepat, dalam hati Yoongi merasa kasihan dengan anak SMA ini. "Bawa aja Kak Yoongi, yang lama juga gak apa kok, biar aku jaga sini."

Wanita murahan pengkhianat, Yoongi pikir. Lalu, dia menghela nafas kecil, padahal dia tidak ada bedanya dalam ketidakmampuan menolak pesona Jimin.

"Bagus," Jimin menyeringai, satu tangan ia gunakan untuk menyisir rambut kelamnya ke belakang, diiringi dengan senyuman setelah itu sebagai pemanis. "Terima kasih banyak, Nona Tzuyu. Kami tinggal."

Dengan itu, Jimin mengambil nampan berisi pesanannya, kemudian berjalan meninggalkan Yoongi ke arah meja dekat jendela paling pinggir yang jaraknya agak jauh dari posisi tengah kafe. Jimin berjalan seakan dia yakin sekali kalau Yoongi akan mengikuti, dan okay, dia memang benar, tetapi tidak bisakah Jimin sopan sedikit? Yoongi bukan peliharaan.

Yoongi menangkap mata Chanyeol yang memandang agak khawatir ke arahnya setelah ia melepas apron dengan agak kasar (Pink khusus kasir, Hijau untuk barista, dan para pelayan tidak pakai agar tetap elegan dengan seragam mereka). Yoongi berjalan mendekat ke Chanyeol, dan karena Chanyeol memang pria yang besar dengan afeksi, Yoongi dengan mudah mengecup pipi Chanyeol meyakinkan kalau dia baik saja.

"Kamu baik, Gi?" Chanyeol bertanya, seperti biasa terlihat memikat dengan kemeja putih tulang yang melekat di badan berototnya, celana katun hitam yang memperjelas kakinya yang jenjang, juga sepatu pantofel formal hitam melengkapi seragamnya sebagai pelayan Epilogue.

ULUNG. (pjm;myg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang