(1) -Park Jimin-

918 84 21
                                    



Sepasang mata kelam menyapu seluruh ruangan. Keramaian di hadapan, seakan bagian dari imajinasi belaka yang tidak dia harapkan. Lagipula, euforia ini bukan sesuatu yang ia cari, lain lagi dari apa yang ia inginkan, jauh dari apa yang ia harapkan. Euforia satu malam, dia menamakan. Hanya itu, ia tahu betul, karena pasti setelahnya, semua akan lenyap. Hilang dari genggaman, musnah dari pandangan.

Dia baru tampil di atas panggung itu, tadi, bersama dua ksatria lain. Namun, penampilan bukan yang ia tunjukkan. Ia berdiri disana, menggerakkan tubuhnya bukan demi perhatian maupun sanjungan. Sebagian jiwanya ia tinggalkan di setiap langkah kaki, setiap perputaran tubuh, pergantian nafas, seakan ia siap mati kapan saja demi kesempurnaan tariannya.

Ia memilih untuk berdiri disini sekarang, menikmati hembusan angin menyapa lembut sanubarinya yang gelap.

"Hallo."

Ah. Satu sapaan, satu suara, satu jiwa.

Entah, hatinya menghangat kala suara selembut sutra itu berkata.

"Tidak berniat menjawab?" Perempuan itu bertanya, nyaris seperti mengharap jawaban, namun dia tahu betul bahwa itu retoris.

"Jimin, kenapa selalu muncul hanya di awal dan akhir acara?"

Jimin, pria ini. Si lelaki gelap pembenci euforia, namun mendamba hal liar berbau semesta fana yang mengantarnya menuju surga dunia.

"Siapa saya, siapa kamu?" Ia mendengus, pertanyaan yang seakan merendahkan, namun si perempuan hanya tersenyum. Biasa, dengan hal ini.

"Aku Yoongi, kamu Jimin," Dia berkata, ringan sekali.

"Saya pikir kamu bicara tentang langit dan bumi," Jimin menambahkan, tidak terkejut di kala Yoongi hanya tertawa kecil.

"Kamu memang pria langit kok," tuturnya. "Yoongi punya tugas untuk ingetin kamu buat selalu pijak bumi, Jim,"

"Saya selalu bilang, saya menolak."

"Menolak dibumikan? Yoongi sudah tahu," Matanya mendelik Jimin dengan kilatan jahil. "Tapi, semangat Yoongi bukan berarti jadi nol gitu aja."

Yoongi ini, sejak dulu mengklaim bahwa dia si perempuan yang akan membiarkan dia terbang ke langit sana, namun akan selalu ia jemput untuk pulang ke fana. Mustahil kalau Jimin pikir, namun memang sudah lama Yoongi tidak mundur dari kata-katanya.

"Semangat yang sia-sia."

Tetapi, seperti saat yang lain, Yoongi hanya tersenyum. Yoongi selalu berpikir, pria seperti Jimin bukanlah manusia sembarangan yang bisa kamu tarik ke gravitasimu dengan mudah.

Jimin, merupakan entitas yang memiliki gravitasi sendiri. Gravitasi yang luar biasa pekat, memikat siapapun yang berhadapan dengan dia. Gravitasi yang bisa menyerap siapa saja, lalu kemudian menghipnotis mereka untuk selalu tetap berada bersamanya. Yoongi pun demikian.

Entah. Pesona Jimin itu mematikan sekaligus memabukkan. Candu; bisa dibilang. Candu mematikan apabila Jimin tidak berminat sama sekali untuk menatap kembali. Mematikan karena pasti tidak akan mendapat asupan cukup dari candu yang di derita. Sekuat itu, pesona Jimin.

Yoongi salah satu dari sekian banyak yang mabuk akan pesona Jimin. Walau Jimin tak acuh, Yoongi setidaknya selalu bertemu dengan pria itu sehari satu kali. Asupan candunya, yang walau dibalas dengan tidak peduli, setidaknya Jimin masih mau melirik. Masih mau berbicara.

"Sakit ya, pembicaraan dari seorang pria langit yang menolak dibumikan." Yoongi tersenyum, lalu duduk di sebelah Jimin. Pria itu otomatis membuat ruang.

ULUNG. (pjm;myg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang