(12) Izin.

364 55 20
                                    

aye

























       Jimin tidak menari karena hobi.

      Suara lagu 'Lie' menggema hebat di studio, menghanyutkan  semua perasaan, meredamkan seluruh pergerakan. Jimin menutup mata, dia membiarkan otak dan tubuh sepenuhnya menguasai hati, memberi celah masuk nada demi nada mengalir di dalam jiwa.

  Jimin menari, tapi semua ini lebih dari sekedar menari. Ada tensi yang ia lepas di setiap pergerakan kaki, ada jiwa yang ia sisipkan di setiap pergantian koreo, ada air mata yang enggan ia teteskan di semua haluan, ada dirinya yang ia tinggalkan dari detik awal ia memasuki ruangan.

  Ada harga diri dimana ia memijakkan kaki saat ini.

  Jimin tidak menari untuk hobi. Jimin menari demi harga diri, dia menari demi sakit yang ingin ia tinggalkan dari hati, dia menari demi jiwanya yang tersakiti, dia menari dan berharap kalau semua ini bukan mimpi.

  Jimin enggan menangkap bayangan di kaca, karena dia takut semua talenta hanya semu belaka. Jimin enggan fokus terhadap keadaan sekitar karena dia hanya tahu jiwanya yang bergetar. Jimin enggan, maka dia biarkan nada yang sepenuhnya merasuki jiwa, menuntun Jimin menemukan koreografi sempurna penggerak umat manusia.

  Jimin menari karena dia ingin menyampaikan apa yang tidak bisa ia katakan, dia menari untuk semua jeritan yang enggan dia keluarkan, dia menari untuk semua doa yang selalu ia semogakan.

  Setelah semua selesai, dia baru sadar atas beban yang ia buang, air mata yang ia teteskan, jiwanya yang ia tinggalkan, nafasnya yang ia lewatkan.

  Saat lagu berganti, disitu pula semangat Jimin kembali. Dia hebat dalam menari, karena ini menyangkut harga diri.

  Jimin tidak menari karena hobi, tapi murni untuk diri sendiri.

   Suara tepuk tangan menghancurkan seluruh konsentrasi Jimin yang sudah mempersiapkan badan untuk melanjutkan koreografi dari 'Butterfly', namun alih-alih marah, dia cepat menghampiri komputer untuk mematikan lagu.

  Biasanya, hanya ada dua yang berani mengusik Jimin, namun karena dia tidak tengah berada di kampus, Yoongi keluar dari hitungan.

  "Bunda?" Jimin mengambil kacamata untuk memperjelas siapa yang ia lihat di daun pintu studio. "Masuk aja."

  Bunda tersenyum, gaun tidur selutut warna putih melekat manis di tubuhnya. "Sudah jam makan malam, Jimin tidak mau makan?"

  Jimin memiringkan kepala, mengalihkan pandang ke arah jam yang tergantung di dinding. "Ah, sudah selama itu?"

  "Jimin sudah beberapa jam disini, sayang," Bunda konfirmasi. "Tidak lelah?"

  "Tidak," Jimin meneguk air dari dalam botol, kemudian menggeleng. "Bunda makanlah, saya menyusul."

  Bunda tertawa kecil. "Bunda mau makan sama Jimin. Sini, duduk dulu."

  Jimin mengernyitkan alis, tetapi dia menuruti apa yang Bunda katakan, kemudian duduk di sebelahnya. "Ada apa?"

  "Bunda senang kamu sering pulang akhir-akhir ini," Bunda memulai. "Tapi, Bunda jadi suka lihat Jimin bawa mobil. Tumben sekali."

  Jimin mengedik. "Sedang ingin."

  "Jimin hanya bawa mobil kalau Jungkook dan Taehyung mogok motornya," Bunda tersenyum jahil. "Apa Jimin ada orang yang diantar?"

  Jimin memainkan botol minum di tangan beberapa kali, tertawa kecil. "Sejelas itu?"

ULUNG. (pjm;myg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang