Ulung. (25)

184 32 16
                                    

Hai. :)













































"Iya, Princess. Nanti aku jemput, ya? Okay, love you."











Jimin masih belum.

Iya, belum menemukan cara meminta maaf ke Yoongi — begitu. Maka, dia disini, terus saja memutar otak perihal bagaimana dan harus apa. Hati sudah bergemuruh berantakan mengingat bahwa dia satu-satunya, masih betah dibungkam awan mendung yang singgah. Taehyung dan Jungkook sudah terlebih dahulu melayangkan proposal "Operation Yoongi" jauh hari sebelum dirinya — dan, memang pada dasar fakta mengatakan mereka manusia gila dirumbung gelora kompetitif; tidak ada satu dari kedua sahabat Jimin rela memberikan sekedar tip sebagai sebuah petunjuk bagaimana mereka meminta maaf kepada Yoongi. Diterima, pula. Lebih lagi, sampai Yoongi sebarkan ke dunia maya bahwa dia sudah baik saja dengan keduanya.

Bajingan gila.


Mereka hanya menawarkan senyum picik puas setiap kali mematikan sambungan telepon dengan Yoongi, atau setiap kali Yoongi membalas pesan mereka — hangat, secerah mentari pagi. Melepas rindu, berbagi canda, tanpa beban, tanpa muslihat. Jimin, pun, sekuat tenaga menahan keinginan melayangkan tinju ke wajah Taehyung atau Jungkook — malu, juga diliputi rindu luar biasa. Bicara rindu, bahkan dia tidak pernah sebegini pilu terhadap Ibunda sendiri. Tetapi, Min Yoongi berhasil mengoyak ulu hati tanpa rasa sesal — bengis menginjak tulang belikat hingga rasanya lebih baik dia mati di tangan Yoongi dibanding hidup tanpa wanita itu di di dunia.

Mungkin...

Mungkin ini yang Yoongi rasakan?

Ditepis ribuan kali secara mudah. Dimaki oleh orang yang sudah bersumpah akan melindungi. Dibayar sepi di saat eksistensi serasa tidak ada arti. Puncaknya, hingga dia harus berlari menjauh, agar dia tidak tercekik lilitan badai yang membelenggu membungkam?






Jimin menghela nafas, jemari dilarikan menyisir surai tembaga guna menepiskan rasa bersalah. Insignia senantiasa terbakar diapit jemari yang bergetar, seakan menjadi teman setia di kala Jimin tidak bersama apapun selain gusar. Rasa ingin Jimin matikan Insignia di atas kulit hingga setidak-tidaknya dia bisa merasakan hal lain kecuali kekecewaan mendalam. Ia kecewa dengan dirinya sendiri yang masih saja tidak mengetahui apa yang diinginkan Yoongi darinya. Ayolah, dia laki-laki. Siapa dia bisa menyandang titel ksatria jika memperbaiki kesalahan saja dia tergugu?

Idiot, memang?

... Yah. Jika dibanding dengan rasa percaya diri beberapa bulan lalu, tentu bisa dibilang Jimin merasa bahwa dia manusia melebihi kadar idiot saat ini.

Mana dirinya yang rela melakukan apapun untuk Yoongi? Mana dirinya yang dengan percaya diri melanturkan izin akan hak paten Yoongi? Mana dirinya yang berjanji akan melindungi? Mana dirinya yang beberapa bulan lalu berkata bahwa urusan mencinta biar dia yang laksanakan? Kemana? Mati ditelan bumi, dimuntahkan enggan harga diri, begitu?

Ini definisi hidup segan mati tak mau.

Jimin istirahatkan kepala di kursi; atensi dilarikan ribuan kilometer per detik, mencari ide atas bagaimana ia bisa memenangkan afeksi Yoongi lagi agar tidak tertinggal kabar dari Yoongi... Lagi. Karena dia sudah seratus langkah di belakang, sudah waktunya dia mengambil kembali langkah yang ia lewati sebelumnya.

Tapi; bagaimana?

Bagaimana bisa ia menjanjikan langit di saat rumput saja tidak ia gubris? Bagaimana ia bisa menjanjikan bahagia saat ia meludahkan semua usaha? Bagaimana bisa ia melihat Yoongi, mengatakan ia sayang, mengaku dia berani cinta, tapi usaha dimakan congkak jiwa? Sudah gila?











ULUNG. (pjm;myg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang