음밭 🌸 sw;ch

140 38 0
                                    

ch

Kali ini aku bersama Seongwoo tidak di Kedai Harapan, tetapi kami berada di pojok perpustakaan. Entah angin apa yang membuat Seongwoo mengajakku mengobrol di sini.

"Bosen di kedai melulu," jawabnya ketika aku bertanya. Aku hanya mengangkat bahuku, tidak terlalu peduli alasannya. Lagipula di perpustakaan itu sangat sejuk, berbeda dengan di kedai yang hanya mengandalkan angin sepoi-sepoi.

Sejak tadi aku membaca salah satu buku referensi untuk tugasku. Sedangkan Seongwoo? Entah aku yang terlalu percaya diri atau memang benar, dia sejak tadi hanya menangkupkan wajahnya di atas meja dan memperhatikan aku. Aku yakin pipiku sudah memerah.

Karena tidak tahan, aku pun mengangkat kepalaku dan membalas tatapannya. "Sebenarnya ada apa sih?"

"Kei."

Aku menghela napas. "Kenapa? Dia menyebalkan?"

Seongwoo menggeleng.

"Banyak bicara?"

"Dia sangat pendiam."

"Makannya belepotan?"

"Tidak."

"Kentutnya bau?"

"Kentutmu juga bau, bodoh," balas Seongwoo.

"Sudah pernah menciumnya?"

Seongwoo menggeleng.

"Lalu kenapa sih? Sepertinya hubungan kalian tidak berjalan baik, namun pasti bukan karena pihak perempuan, kan?" tanyaku.

"Iya, tidak," jawab Seongwoo.

"Yang benar yang mana?" tanyaku kesal.

"Iya, tidak," jawab Seongwoo lagi.

Aku memukul kepalanya dengan pensil yang baru aku sadari aku pegang sejak tadi.

"Iya, hubungan kami tidak berjalan dengan baik. Tidak, hal itu disebabkan dari pihak perempuan," jelas Seongwoo.

"Dia kenapa? Sepertinya dia perempuan baik, cantik, bersih, anggun..."

"Dia sudah ada yang punya."

Aku refleks tertawa mendengar jawaban Seongwoo. Namun berakhir dengan omelan dari pengunjung perpustakaan yang lain.

"Aku sudah tahu kamu akan tertawa, makanya itu aku mengajakmu ke perpustakaan agar kamu tidak bisa melakukannya," ucap Seongwoo.

"Tapi itu memang lucu, Seongwoo," tuturku.

"Apanya yang lucu? Kamu tidak kasihan denganku?" tanya Seongwoo.

Tentu saja tidak. Aku justru senang mendengarnya.

"Kasihan sih," aku masih terkekeh. "Lalu kamu mau bagaimana?"

"Tolong carikan aku perempuan yang sudah jelas tidak punya pacar," pintanya.

Aku mengangguk, lalu mengambil ponselku. "Syaratnya hanya itu saja?" tanyaku.

Seongwoo mengangguk.

"Bagaimana dengan dia?"

"Exy?"

"Iya, anak arsitek semester empat," jawabku.

"Aku tahu itu," ucap Seongwoo. "Kamu yakin memasangkan aku dengan dia?"

Aku mengangguk.

"Kamu yakin hubungan kami akan berjalan mulus?"

"Tidak ada yang tahu akhirnya bagaimana. Tapi tidak ada salahnya juga untuk mencoba, kan?" tanyaku.

"Oke." Seongwoo mengangguk.

"Mau aku berikan kontaknya?"

"Tidak, aku sudah punya. Aku pernah memberinya pesan," jawab Seongwoo.

Aku mengangguk, lalu kembali menyibukkan diri dengan buku di depanku walau pikiranku sudah tidak bisa fokus lagi.

Bagaimana kalau hubungan Seongwoo dengan Exy berhasil? Dan itu semua terjadi karena ideku? Rasanya aku sudah tidak pantas lagi untuk bersedih jika itu terjadi (dan jangan sampai terjadi).

Apakah aku terlalu bodoh?



this is our end - 4 - end

[1.2] this is our endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang