두와브라스 🍂 dn;sj

149 38 15
                                    

sj

Sudah satu minggu semenjak aku pulang ke rumah. Dan dalam satu minggu itu aku sempat bertemu Daniel beberapa kali. Namun hanya sekadar lalu begitu saja, tidak ada yang spesial.

Terkadang aku memikirkan sebenarnya hubunganku dengan Daniel itu apa. Aku merasa kami sudah tidak seperti saat awal masuk kuliah, namun belum sampai pada tahap seperti saat SMA.

Jujur saja aku merasa ingin menyerah saja. Sudah lebih dari tujuh bulan aku mengejat Daniel dan sampai sekarang tidak menunjukkan hasil apapun. Baik ataupun buruk, semuanya tidak jelas.

Kalian pikir melakukan hal ini mudah? Selain aku harus mempersiapkan hati untuk bertemu Daniel, aku pun harus mempersiapkan telinga yang tahan dengan segala cemoohan orang-orang mengenai aku yang terus mengejar Daniel.

Aku tidak tahu hal itu mulai dari mana atau dari siapa, mungkin mereka bisa melihat sendiri bagaimana aku yang sering menghampiri Daniel duluan dan mengajaknya terus berbicara padahal tidak terlihat sebuah respon baik dari mimik wajah Daniel.

Mungkin itu memang benar dan sebaiknya aku jangan berharap lagi, namun entah mengapa aku bisa merasakan perubahan Daniel yang sebenarnya tak kasat mata itu. Aku hanya tahu bahwa Daniel telah berubah.

Tapi mau sampai kapan?

Sampai kapan aku harus mengejar? Sampai kapan aku terus menunggu datangnya sebuah balasan? Sampai kapan? Sampai aku harus menyerah?

Yah, rasanya aku memang ingin menyerah saja.

Sudah beberapa kali aku terus memikirkan hal ini. Dan seperti biasa, pikiran dan hatiku tidak sejalan.

Kini aku berjalan gontai menuju salah satu kursi kosong di kantin dengan segelas jus mangga di tangan kananku. Karena melamun, aku tidak menyadari adanya sebuah piring berisi nasi goreng ayam dan segelas es teh manis.

Aku mengaduk jusku. Pikiranku melayang menginginkan sebuah jawaban.

"Sejeong?"

Aku mendongak ketika namalu disebut oleh dia.

"Eh, ini tempatmu ya?" tanyaku, bersiap ingin pergi.

"Iya sih," jawab Daniel. Kemudian ia duduk di depanku. "Tapi nggak apa-apa kok."

Aku mengikuti tatapan Daniel yang mengarah pada belakangku.

"Loh, kamu harusnya sama Jaehwan?" tanyaku lagi.

Daniel mengangguk pelan. "Sama anak-anak yang lain juga sih."

"Ah, aku jadi nggak enak nih, Nyel. Aku pergi aja ya?" ucapku.

Daniel menggeleng. "Setidaknya habiskan dulu jusmu itu."

"Ehm, oke deh."

Lalu keheningan menyelimuti kami yang terdiam. Biasanya aku yang memulai semua percakapan dengan Daniel, namun kali ini aku masih berkecamuk dengan pikiran dan pertanyaan di dalam kepalaku.

"Jeong."

"Ya?"

"Kamu kenapa?"

Aku tidak mau terlalu percaya diri, namun aku bisa melihat sorot khawatir dari kedua mata Daniel.

Aku menghela napas. "Aku boleh tanya sesuatu, Nyel?"

Daniel mengangguk. "Tanya apa?"

"Dijawab ya?"

"Kalau aku bisa," jawab Daniel.

"Kita itu apa sih, Nyel?"

Daniel terdiam. "Teman?"

"Oh," balasku pelan. "Usahaku selama ini enggak berarti apa-apa ya, Nyel?"

"Bukan gitu, Jeong," elak Daniel. "Kamu kan juga tahu aku udah berubah sedikit."

Aku menghela napasku lagi, lalu aku membuang mukaku. "Perasaanmu padaku itu bagaimana, Nyel?"

Lagi-lagi Daniel terdiam. Kali ini keheningan yang sepertinya sangat senang mengurung kami ini sangatlah menyiksa.

Aku berdiri tanpa kata pada Daniel, membiarkan dirinya menatapku dengan pandangan yang tidak mau aku artikan.

Bolehkah aku untuk menyerah saja?





this is our end — 12 — end

kenapa ya daniel tuh selalu aku bikin menyebalkan? wkwkwk

tapi tenang aja gaes, sedikit spoiler nih, daniel nggak sejahat di 'endless' kok wkwkwk

[1.2] this is our endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang