Sahabat

248 10 6
                                    

Pagi itu adalah hari pertama setelah libur akhir tahun pelajaran, kini aku sudah naik ke kelas XII. Antrian manusia yang mengular hampir dua kilometer menahanku di barisan orang-orang gelisah, suara klakson yang bersahutan, serta motor-motor yang tidak ingin memberi jalan, mengiringi mobil yang dikendarai Pak Juned, supirku. Jalanan akan lebih padat saat hari-hari aktif sekolah, karena jam masuk sekolah hampir berbarengan dengan orang berangkat ke tempat mereka mencari nafkah. Beberapa meter di depan adalah gerbang sekolahku, kulihat Pak Jayadi, satpam sekolah mencoba mengatur lalu lintas karena banyak motor dan mobil yang mencoba masuk ke gerbang, beberapa motor tidak sabar dan memaksa lewat walaupun beliau telah mengangkat tangan isyarat untuk menyuruh berhenti. Dalam sekejap motor-motor lain ikut menerobos, kulihat wajah frustasi beliau menghadapi para pemotor tersebut.

"non... kita bakal telat nih, dari tadi ko gamau jalan ya, padahal tinggal beberapa meter lagi."

"iya udah gapapa pak." Aku menyandarkan punggungku dan mengambil hp di tasku, kubuka whatsapp dan ada sekitar 10 pesan masuk, semua dari teman-teman panitia acara pembukaan ajaran baru. Sudah menjadi kebiasaan di sekolah ku, OSIS melaksanakan sebuah acara amal di hari pertama masuk sekolah setelah libur tengah semester ataupun akhir tahun. Sebuah budaya yang ditanamkan oleh bapak kepala sekolah sejak 4 tahun yang lalu. Sesuatu yang baik, yaitu belajar, harus dimulai dengan yang baik, katanya. Acara amal itu adalah symbol bahwa kita ingin memulai semester dengan semangat yang positif. Bentuk acaranya dapat berubah tergantung kreatifitas pengurus OSIS, bisa jadi santunan anak yatim, melakukan sumbangan, atau seperti yang aku dan teman-temanku lakukan, kami akan mengadakan konser akustik untuk mengumpulkan uang sumbangan untuk yayasan kanker Indonesia, dan di sela-sela penampilan akan ada talkshow singkat bersama narasumber dari yayasan tersebut dan penderita kanker untuk memberikan edukasi tentang kanker.

Setelah membalas pesan mereka, aku kembali membuka chatku semalam dengan Rani. Aku senang akhirnya dia telah membuka diri dan mau berkomunikasi denganku, walaupun memang lebih lama dari yang kuperkirakan. Dia meyakinkanku bahwa Rani akan membuka diri setelah libur akhir tahun ajaran, dan ternyata benar, semalam Rani mengirim pesan padaku, dia meminta maaf. Aku segera menelponnya, dan kau tahulah, selanjutnya kami berbincang sambil nangis Bombay. Aku sungguh lega, beban berat yang menyelimuti hatiku selama ini seperti terangkat begitu saja, perasaanku terasa seringan kapas. Aku melirik seorang laki-laki memakai seragam sekolahku di atas motornya berhenti di samping mobilku. Aku sungguh berharap itu adalah dia, karena selama liburan kemarin aku tidak bertemu dan berkomunikasi sedikitpun dengannya. Dia hilang seperti ditelan bumi, kadang aku kesal sendiri, kenapa dia tidak punya hp sih, apa sebaiknya nanti kubelikan saja? Walau aku tahu sebenarnya dia tidak punya bukan karena masalah tidak mampu membeli. Dia pernah bilang bahwa dia tidak ingin hidupnya terpenjara dalam gadget, sedikit-sedikit mengecek hp, bangun tidur buka hp, sedang berkumpul bersama teman, saling diam dan fokus pada hp masing-masing. Dia merasa risih dengan semua itu. Tapi jika hapenya bukan model smartphone dan kontak di dalamnya hanya ada aku, kurasa tidak akan membuat dia merasa risih kan? Aku senyum-senyum sendiri memikirkannya.

Selama acara aku tidak melihat dia sedikitpun, aku jadi merasa gelisah, apakah dia tidak masuk di hari pertama? Apa yang terjadi? Dia tidak pernah bolos sekolah sebelumnya, ini sungguh tidak biasa. Aku bertanya pada teman-teman sekelas, tapi tidak ada yang melihatnya, Zahra pun sama saja. Lalu aku mencari Rani setelah acara selesai, dan aku menemukannya di kelas, dia sedang duduk sendiri membaca novel.

"hei..." aku menyapanya.

"hei..." dia melempar senyum, sungguh manis.

"kamu belum pulang?"

"masih nunggu jemputan, kayaknya masih lama."

"mau pulang bareng denganku?"

"hm... boleh, tapi antar aku ke rumah sakit aja bisa? Aku ada urusan sama ayah."

LaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang