Kemesraan

301 11 3
                                    

Siang itu saat pelajaran olahraga, siswa kelas XII IPA 1 berkumpul di lapangan, Pak Budi mengomandoi seluruh siswa untuk berbaris rapi, lalu mengecek kehadiran kami. Setelah itu kami diminta berpasangan melatih kemampuan passing dalam materi sepak bola. Aku bukan siswa yang pandai olahraga, dan pasanganku Zahra juga bukan, kami hanya main-main menendang bola tak beraturan sambil tertawa. Beberap kali Pak Budi memelototi kami, dan terpaksa kami berpura-pura serius. Di saat dia lengah kami kembali bercanda.

Beberapa saat kemudian aku dengar seorang murid laki-laki berteriak, "Pak! Ada yang pingsan!" sontak seluruh siswa berhenti dan melihat ke sumber suara, seorang siswa tergeletak di lapangan, Pak Budi dan beberapa siswa lain segera mengerumuninya, lalu ketua kelas disuruh Pak Budi mengambil tandu, dia dibawa ke ruang UKS. Aku dan Rani berpandangan cemas, kurasa hanya kami berdua yang tahu soal penyakitnya ini, kami khawatir dia pingsan berhubungan dengan itu. Maka kami berdua segera berlari menuju ruang UKS menyusulnya, Rani bahkan menelpon ayahnya dan menceritakan itu kepadanya. Ayahnya hanya bilang, jika dia tidak siuman dalam waktu dekat, dia akan menjemputnya untuk dibawa ke rumah sakit.

Dan itulah yang terjadi, ayah Rani akhirnya datang dengan ambulan, petugas UKS dan beberapa guru bingung dengan apa yang terjadi, tapi setelah berbicara dengan ayah Rani, tampaknya mereka mengerti. Aku tidak tahu apa yang ayah Rani katakan pada mereka. Aku tidak bisa berkonsentrasi di sisa jam pelajaran, aku ingin segera pergi ke rumah sakit. Rani pun merasakan hal yang sama, dan memahamiku, maka setelah KBM usai dia mengajakku bolos pelajaran tambahan persiapan UN untuk segera ke rumah sakit. Aku setuju.

"kenapa bisa begitu? Bukannya dia rajin minum obat? Kenapa bisa secepat ini?" Rani tak percaya.

"Ayah juga tidak tahu," dia memegang pundak Rani. "kamu harus paham sayang, obat hanyalah perantara, bukan penentu, hanya Tuhan yang menentukan, jika memang Dia berkehendak begini, apalah kuasa ilmu kedokteran?" Rani menutup wajahnya menangis. Aku yang mendengarkan dari luar kantor ayahnya pun tak kuasa menahan tangis. Kini dia telah mencapai tahap yang parah, berbagai penyakit mulai menggerogoti tubuhnya, dan pingsannya dia hari ini adalah puncak dimana tubuhnya tidak mampu lagi menahan itu semua. Hanya empat bulan setelah kematian ibunya, dia kini bernasib sama sepertinya, harus dirawat.

Aku berjalan ke kamar dimana dia dirawat, kulihat pamannya baru saja keluar dari sana, kami berpapasan.

"Nak hana, om titip dia sebentar ya, ada urusan penting..." pintanya lembut.

"iya om... tidak apa-apa." Aku mencium tangannya, dia lalu pergi. Aku masuk dan mendapatinya sedang terduduk di ranjang, memandang ke arah jendela. Wajahnya lesu dan kuyu.

"hei...." Sapaku.

"sepertinya aku sudah tidak bisa sekolah nih..." dia tersenyum. Aku mengambil kursi dan duduk di samping ranjangnya, "aku bakal kangen teman-teman, guru-guru, terutama Pak Sunardi, yang setiap hari jagain gerbang masuk dengan wajah seram, dan pastinya aku bakal merindukanmu."

"aku bisa datang setiap hari ke sini..."

"jangan... kamu pasti sibuk persiapan UN, aku gak mau nilai kamu jelek pas UN."

"tapi aku tetep bisa berkunjung ke sini kok..."

"janji tidak mengganggu belajarmu?"

"janji..." mata kami berpandangan. Sore itu, hujan turun deras, menambah rasa sedih dan murung di hatiku. Setelah magrib, pamannya kembali dan menyuruhku serta Rani untuk pulang. Kami segera pamit. Aku sampai di rumah pukul Sembilan malam, kulihat ibu sedang menonton TV di sofa ruang tengah. Tumben sekali ibu pulang cepat pikirku, biasanya ibu pulang di atas jam sepuluh malam.

LaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang