Hari Bersamanya

228 9 1
                                    


Esoknya dan beberapa hari kemudian dia kembali tidak masuk sekolah, aku tidak tahu kenapa, dan aku tidak mau bertanya pada Rani. Kini, aku yang menjauhi Rani, aku tidak mengerti dengan perasaanku. Rasa marah, cemburu, dikhianati semuanya bercampur aduk. Rani beberapa kali mencoba berbicara padaku, tapi aku tidak mau mendengarnya, bahkan aku menjauhi kantin saat istirahat siang karena Rani pasti ada disana dengan Zahra. Mungkin Rani ingin menjelaskan keadaan saat di rumah sakit, tapi aku tidak ingin mendengar semua itu, aku ingin dia yang bercerita padaku bukan Rani, tapi dia masih belum masuk sekolah.

Siang itu aku bolos pelajaran olahraga, aku duduk di bawah pohon beringin sambil merokok. Saat stress seperti ini, rokok biasanya selalu menjadi sahabat yang lebih dapat diandalkan dari pada Zahra dan Rani. Tapi sekarang justru rokok ini mengingatkanku padanya. Aku membuang batang rokok yang belum habis itu kesal, melemparkannya seakan-akan ada dia disana, kenapa dia melakukan itu? Kenapa dia belum bicara padaku? Katanya dia ingin membahagiakanku? Yang dia lakukan justru menerbangkanku ke awang-awang lalu menjatuhkanku ke bumi sekeras mungkin. Hanya sakit yang kurasakan.

"sudah aku bilang jangan merokok di sekolah..." suara Zahra dekat. Aku hanya menoleh sebentar dan kembali mengambil sebatang rokok dari sakuku, mencoba menyalakannya.

"sudah hentikan..." Zahra mengambil pemantikku. Aku menatapnya kesal.

"mau apa kamu kesini?"

"aku malas olahraga, bikin keringetan." Dia duduk disampingku. Aku memeluk kedua lututku, tidak menanggapinya. "ini..." katanya menyerahkan secarik kertas.

"apa ini?"

"surat dari dia."

"dari dia? Kenapa ada padamu?"

"Rani menitipkannya padaku, kamu kan gamau ketemu Rani, makanya itu dititipkan padaku."

"kenapa dia memberikan surat ini ke Rani? Kenapa dia tidak langsung menemuiku?" rasa kesalku bertambah.

"haduuh... sudah yah... aku mau bolos di tempat lain saja, kamu gak asyik hari ini." Zahra pergi meninggalkanku. Aku menatap secarik kertas yang terlipat rapi di tanganku, kemudian kubuka perlahan.

Layla

Maafkan aku jika akhir-akhir ini aku membuatmu bersedih, padahal aku telah berjanji untuk selalu menyelipkan kebahagiaan dalam hatimu. Manusia hanya dapat berencana, pada akhirnya takdir pula yang menentukan kan? Ibadahku kepada-Nya lewat dirimu harus terganggu karena hal yang sangat tidak mungkin aku hindari.

Aku mengerti perasaanmu saat kita bertemu di rumah sakit beberapa hari yang lalu, tapi sungguh demi Tuhan, itu semua tidak seperti yang ada dalam benakmu Layla. Ada hal-hal tertentu yang waktu itu belum bisa aku ceritakan kepadamu, dan karena itu mungkin sekarang adalah saat terbaik untuk mengatakannya. Tapi tidak lewat surat ini, aku ingin meminta waktumu di hari sabtu untuk menghabiskan seharian bersamaku. Bersediakah kamu Layla?

Tolong sampaikan jawabanmu pada Rani, dan tolong jangan berburuk sangka padanya, dia adalah sahabat yang baik untukmu.

Bersediakah aku? Dasar bodoh, aku sudah menunggumu meminta ini sejak lama. Aku melipat kembali surat tersebut dan menyimpannya di saku kemejaku, agar dekat dengan hatiku. Aku bangun, merapikan bajuku, menyemprotkan parfum dan mengambil permen mint dari saku. Sudah saatnya aku menemui Rani.

Sore itu sekolah sudah lengang karena mayoritas siswa dan guru telah pulang, tapi di kelasku masih ada dua siswi yang duduk dalam diam. Aku dan Rani. Kami duduk saling berhadapan, tapi belum ada kata terucap. Dia memainkan jari-jarinya yang lentik, sesekali menatap keluar jendela, angin sore di akhir musim kemarau menerpa wajahnya, membuat rambutnya yang hitam sebahu seperti berdansa, mata coklat keemasan itu tepapar sinar matahari sore yang lembut, membuatku takjub, seperti inikah keindahan Tuhan yang sering dia katakan? Jika keindahan seperti ini membuat perasaanku begitu takjub, bagaimana jika aku dapat melihat wajah-Nya?

LaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang