Dua minggu kemudian ibundanya meninggal dunia, aku, Zahra, Rani dan teman-teman kelas serta wali kelas datang melayat ke rumah pamannya. Tak kusangka ternyata banyak teman sekolah yang bukan teman sekelas juga datang. Di serambi depan rumah yang cukup besar itu, banyak orang berkumpul melayat, ayah dan ibu Rani pun datang. Dan tentu murid-murid pamannya juga berdatangan. Semalam aku telah mengirim pesan pada santi soal kabar tersebut, dan ketika menjelang siang, Santi bersama dengan teman-teman bandnya yang dulu datang.
Kami semua mengikuti prosesi pemakaman sampai selesai, aku selalu memperhatikannya, ingin aku dekap dia untuk memberikan dukungan moral, tapi dia menolak. Dia sungguh tegar, air mata memang mengalir di pipinya, tapi wajahnya tak menunjukan kepedihan mendalam, dia tak ingin kematian ibunya membuatnya terlalu kalut. Bukankah setiap manusia memang akan mati suatu hari? Hanya masalah waktu saja. Lalu kenapa kita semua bertindak seakan itu adalah hal yang tidak diinginkan? Mau atau tidak, dia pasti datang, tak lebih awal dan tak terlambat dari waktu yang telah digariskan.
Setelah pemakaman selesai aku dan teman-teman duduk di teras rumah pamannya sambil minum teh yang disediakan, hujan gerimis yang turun seakan menambah rasa kelabu di dalam hatiku. Aku berbincang banyak hal dengan Santi, dan darinya aku tahu bahwa ketika dulu dia tidak mau pulang bertemu ibunya, dia banyak numpang di rumah teman-teman bandnya, dan Santi banyak mengurusi keperluannya seperti uang untuk makan dan ongkos untuk sekolah, bahkan Santi mengurusi kebutuhan sandangnya juga.
"kenapa kamu melakukan itu?" aku bertanya.
"aku sudah suka sama dia kan, nah pas tahu dia kena penyakit itu dan dia jadi stress gitu, aku hanya mencoba selalu ada untuk dirinya, walau pada akhirnya dia tetap menolakku sih..." Santi tersenyum kecut. Aku merasa sangat malu, dibanding Santi, aku tidak pernah melakukan apapun yang berarti dalam hidupku untuknya, tapi justru malah sebaliknya, dia mengajariku banyak hal.
"apakah kamu akhirnya menyesal telah melakukan itu?"
"awalnya sih...., tapi akhirnya aku belajar untuk mencintai secara utuh dari dia, mencintai ya mencintai, tidak usah mengharapkan balasan." Deg... itu adalah kali kedua aku mendengarnya, dan aku belum bisa melakukannya. Coba kau bayangkan, kau berpacaran dengan seseorang, kau memperhatikannya, kau melakukan apapun untuknya, tapi pada akhirnya dia harus bersanding dengan orang lain di pelaminan, apakah hatimu tidak akan hancur? Dan selain Rani, kini Santi mengatakan bahwa mereka belajar untuk tidak mengharapkan balasan dari semua tindakan yang mereka lakukan untuknya. Oh tuhan, aku sungguh tidak mampu membayangkannya. Sampai saat ini aku takut, dan tidak ingin menerima kenyataan bahwa dia sakit, dan keadaannya bisa berubah jadi buruk dalam waktu dekat. Aku ingin dia selalu ada mengisi hari-hariku.
Di sore hari, Santi dan teman-teman dari bogor pamit pulang, kini tinggal aku yang masih di sana, Zahra sudah lebih dulu pulang bersama teman-teman kelas, dan Rani sudah pulang bersama orang tuanya. Maka aku segera berpamitan pada pamannya.
"Om... hana pamit pulang..." aku mencium tangannya.
"oh iya iya... terima kasih ya..." lalu pamannya memanggil dia dan menyuruhnya untuk mengantarku pulang sampai ke rumah dengan mobilnya, kebetulan aku memang datang dengan angkutan umum bersama teman-teman sekelas. Hari sudah sore, dan hujan semakin deras, pamannya merasa aku lebih baik diantar saja. Kami segera berangkat dengan Honda CR-V hitam milik paman.
"bagaimana bisa seseorang mencintai tanpa mengharapkan balasan?" tanyaku padanya di mobil.
"hm... susah banget pertanyaan kamu, butuh dua jam pelajaran nih..." jawabnya enteng.

KAMU SEDANG MEMBACA
Layla
RomansaLayla, seorang gadis SMA yang merasa ada yang kurang dalam hidupnya, belajar arti cinta dari seorang laki-laki yang aneh. ini adalah kisah tentang pencarian makna cinta dan kehidupan.