Afraid [16]

283 27 11
                                    

Emmelly POV

Aku melihat sosok yang begitu ku kenal, begitu aku rindukan, dan begitu ku butuhkan saat ini.

Ibu.

Wajah lembut ibu terlihat saat cahaya itu perlahan menghampiri ku, sangat cantik wajah ibu saat itu. Aku mendekatinya perlahan, apapun itu yang sebelumnya menahan langkah dan suaraku, telah  menghilang. Namun berbarengan dengan itu, cahaya itu semakin memudar. Gelap, dan semakin gelap. Tapi aku merasa tenang.

Dan aku rasa aku tertidur, hanya kesunyian dan tenang.

"Em, Emmelly...." Aku mendengar seseorang memanggil namaku, lembut dan sangat ku kenal.

Aku mulai membuka mata perlahan dan kulihat wajah Anastasha, aku mengerjapkan mata berkali-kali berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Sedikit silau di sini.

"Nghh... ya" jawab ku pelan, saat ini aku merasakan kerongkongan ku kering, bak telah di peras. suaraku pun ikut mengecil dan terdengar parau.

"Oh syukurlah...minum lah dulu. Kau akan merasa lebih baik" aku menuruti saran Anastasha dan meminum air yang ia sodorkan, sebenarnya aku memang tengah kehausan sekarang.

"Terimakasih, apa yang terjadi?" setelah meneguk air itu hingga kandas, aku bertanya seperti orang linglung. Dan perlahan tanpa di beri tahu ingatan sebelum aku pingsan pun bermunculan.

Kevin.

Ya, aku sedang mencari Kevin tadi.
Aku kembali menegang dan melihat Anastasha dengan gusar. Seolah mengerti dengan tatapan ku, gadis yang lebih muda dariku itu tersenyum dan ku yakin itu bukan jenis senyum yang akan mengecewakan ku.

"Tenanglah, dia ada di sini. Ia yang menyuruh ku menemanimu, sebentar lagi dia akan menemuimu" Anastasha tersenyum dan memegang tangan kiriku seolah menenangkan ku.

Aku mengangguk dan tersenyum lega, dan aku tak perduli jika senyum ini akan berganti tangis nantinya. Yang ku pikirkan saat ini adalah untuk bertemu Kevin secepatnya.

Tokk..tokk...tokk

"Pasti itu dia, baiklah aku akan memberi waktu kalian untuk berbicara. Dan berjanjilah satu hal padaku" aku melirik nya dan sebenarnya bingung.

"Apa itu?" jawabku sambil membenahi posisi dudukku yang kurang nyaman.

"Berjanjilah untuk tak menangis lagi" rasanya seperti di sindir, tapi jelas Anastasha bukan bermaksud seperti itu. Tentu ia peduli padaku.

"Aku berjanji, dan terimakasih" ucap ku sambil mengangguk dan terlihat seorang memasuki kamar ini, ya itu Kevin.

"Oke, aku di ada di kamar jika kau membutuhkan ku." Anastasha tersenyum dan meninggalkan ruangan ini, bergantian dengan Kevin yang memasuki kamar.

Aku terdiam dan sebenarnya bingung hendak melakukan apa, aku hanya tertunduk. Saat itu aku melihat kedua lengan Kevin yang terbalut perban. 
Oh astaga, jangan katakan jika ia terluka lagi. Tapi melihat perban itu melilit di kedua tangannya lebih baik, ketimbang melihat darah segar dan luka menganga di sana.

"Em, kau baik?" tanya Kevin dan aku merasakan kasur ini bergoyang, menandakan ia duduk di sampingku saat ini.

"Seperti yang kau lihat, Vi ada apa dengan tangan mu?" akhirnya aku tak bisa membendung rasa khawatir dan keingin tahuanku.

"Hanya luka kecil, dan aku tak menyakiti siapapun. Kecuali dirimu" pedengaran ku saja atau memang dia mengecilkan suaranya di kalimat akhir, yang membuatku menoleh padanya.

Demi apapun aku melihat nya tersenyum getir dan terlihat begitu menyesali perbuatannya, aku memang bukan cenayang tapi aku juga tak buta. Raut wajahnya begitu jelas terlihat, tak seperti Kevin.

"Vi aku baik-baik saja. Maafkan kecerobohan ku" aku mencoba menenangkan nya dengan berlagak sok kuat.

"Em, aku yang egois selama ini. Aku membuatmu sakit, bahakan tanpa memikirkan sedikitpun perasaanmu." Kevin memandang lurus ke mataku, hatiku beku saat matanya memandang dingin.

"Aku tak seharusnya memiliki perasaan itu, aku telah memikirkan nya. Aku tak akan mengulang perbuatan dan perkataanku" aku kembali menunduk karena tak tahan dengan pandangannya seperti itu.

Aku merasakan dagu ku di sentuh dan di tarik nya perlahan sehingga wajahku mendongak lagi. Ya tuhan, Kevin tersenyum. Terlihat begitu manis.

"Aku ingin kita lupakan ini" Kevin tersenyum dan menampakkan deretan gigi nya yang begitu menawan, tapi aku juga tersenyum dan sudah menduga jika itu akan ia katakan. Bagaimanapun aku tak pernah ada di hatinya, tapi mungkin ada di kepalanya.

"Kita mulai dari awal, dan aku...aku akan berhenti. jika kau masih mau menjadi asalan ku untuk berhenti" aku merasa tak percaya pada telinga dan mataku saat ini, apa mungkin panca indra ku membohongi ku?

Masih tak percaya, mataku terbelalak dengan hati yang lama kelamaan terasa hangat.

"Vi?" tanya ku lagi, sekedar untuk memastikan bahwa ini bukanlah mimpi.

"Kau bilang ingin menjadi alasan ku untuk berhenti kan ?" mendengar nya aku pun mengangguk karena tak mungkin aku menampik hal itu.

"Ya tentu. Tapi kau tak harus memikirkan itu, aku hanya..." seolah seseorang mengambil semua kata-kata yang hendak ku ucapkan, aku tak bisa menjawab apapun lagi karena itu bertolak belakang dengan keinginanku.

"Aku akan berhenti, dan soal perasaan mu. Aku belum bisa membalasnya, tapi aku berusaha" Aku hanya mengangguk dengan perasaan tak menentu, lega, senang, juga sedikit kecewa atas apa yang Kevin katakan.

"Tapi itu tak akan sulit, karnea aku telah menyayangimu Em" lanjutnya dan aku tak bisa menahan diriku untuk tak memeluknya.

Jika apa yang ia katakan dusta, aku akan berpura-pura jika aku tak tahu. Dan jika ini bukan Kevin, aku akan berlagak sekuat tenaga untuk menganggapnya Kevin.

Tanpa di sangka Kevin juga mendekap  ku, begitu hangat dan nyaman. Dia seperti mesin pemeluk ter handal di dunia. Ini satu alasan mengapa aku tetap dengan perasaanku.

"Aku menyayangi mu Vi, lebih dari yang kau tahu" jawabku di pelukannya dan sekuat apapun aku tak meneteskan air mata, air mata itu tetap mendesak keluar dan mungkin aku tak perlu khawatir karena ini air mata bahagia.

"Sekarang lebih baik kau makan, sesudah itu tidur. Aku akan menemanimu" ucap Kevin dan melepas pelukan kami,

"Hey kau menangis? Apa aku menyakitimu lagi?" Senyum ku mengembang, ia bisa juga sepolos ini.

"Tidak, aku tengah bergembira Vi. Hm ya aku lapar " sahut ku sambil tertawa dan semoga ini menjadi awal yang baik.

Kami melewati malam dengan makan malam, dan saat tidur Kevin menemani di sisi lain tempat tidur. Ini memang bukan pertama kali, tapi menjadi pengalaman yang berbeda dari biasanya.

Kevin...terimakasih.
Telah menjadikan aku sebagai alasanmu.

Aku mencintaimu....








.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

VOTE AND COMMENT YAA...




Ini mending happy ending atau sad ending?

the psychopath meet indigo's girl Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang