DUAPULUH SATU

81 5 0
                                    

Happy reading ❤
_

typo(s) dimana-mana







Rea sudah memarkirkan mobilnya dengan baik. Lalu ditengah jatuhnya rintik hujan dan malam yang dingin, sepasang kakinya menghantarkan ia ke sebuah kafe yang memang harus ia datangi malam ini.

Ia mendapati teman-temannya yang sudah duduk dengan santai ditemani segelas kopi sesuai pesanan masing-masing yang otomatis membuat Rea bingung.

"San?! Ada apa ini?"

Sandi menoleh, lalu tersenyum dan berjalan kearah Rea. Menuntun gadis itu untuk duduk terlebih dahulu. "Lo duduk dulu deh, Re."

Rea mengikuti omongan Sandi. Ia memilih duduk disamping Gaby dan Deo.

Suasana kafe sepi. Rea menebak bahwa kafe ini sengaja dikosongkan oleh Sandi untuk suatu alasan.

"Jadi?"

Pertanyaan Reza membuat Sandi mendesah malas. Ia menatap Reza tajam tanda jangan ada yang mulai berbicara sebelum ia mengucapkan sesuatu.

"Sorry telat."

Semua menoleh kearah pemuda yang baru saja datang. Setelan celana jeans dan jaket denimnya membuat penampilan keren melekat pada dirinya.

"Oke, silakan duduk. Lalu bisa kita mulai," ujar Sandi dengan senyum sejuta maknanya.

Semua orang tiba-tiba diam, pandangan terpusat pada Sandi yang berdiri dengan tangan menyilang didepan dada.

Tatapan Sandi menjadi datar dan sulit diartikan membuat sembilan orang yang duduk diruangan itu menatap Sandi heran tentunya.

"Gue ngumpulin kalian semua, buat nyelesain drama yang secara nggak sadar udah kalian jalanin selama ini," ucap Sandi tegas.

"Gue capek harus selalu jadi pengamat dari berbagai sisi yang tanpa sadar drama ini sangat-sangat menjijikan," lanjut Sandi.

Pemuda itu menjeda perkatanyaan. Ia terlihat menghela napas panjang lalu memejamkan matanya sejenak.

"Kita mulai dari orang pertama. Siapa yang mau?"

Semua diam. Saling memandang bingung dengan perkataan yang dilontarkan Sandi.

"Maksud lo ap–"

"Gue!" Perkataan Gilbran dipotong begitu saja oleh Gilbert membuat suasana menjadi tegang.

"Wah! Bagus," puji Sandi yang kemudian menyuruh Gilbert untuk berdiri menggantikannya.

Tampak Gilbert beberapa kali menghembuskan napasnya kasar untuk menghilangkan kegugupannya.

"Gue tanya sesuatu sama Gilbran, kembaran gue sendiri," ucapan Gilbert bagai sengatan yang mengenai hati Gilbran membuat pemuda itu menatap Gilbret tajam.

"Apa yang lo sembunyiin dari gue?"

Gilbran berdiri, berjalan kearah Gilbret yang menatapnya kecewa.

"Maksud lo apa sih?"

"Jangan pura-pura bego. Apa yang lo sembunyiin dari gue?"

"Sumpah deh. Lo kenapa sih?"

"Apa.yang.lo.sembunyiin.dari.gue?"

"Apaan sih lo?!"

"APA YANG LO SEMBUNYIIN SELAMA INI DARI GUE ANJING!"

BUG!

Satu pukulan mendarat dipipi kanan Gilbran.

Para gadis diruangan itu menjerit kaget. Tapi hanya Naya yang berani berdiri tepat dibelakang Gilbert saat ini.

AreannaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang