DUAPULUH SATU (2)

81 5 3
                                    

"Rea? Wanna say something? Come on. Tinggal lo sebagai tokoh utama mengutarakan bagian lo," ucapan Sandi membuat Rea berdiri dari duduknya.

Tegang. Saat Rea berdiri tepat dihadapan mereka dengan raut wajah yang sulit ditebak.

"Gue-"

"STOP!! Kalian nggak punya hati!"

Suara itu memotong kalimat yang akan keluar dati mulut Rea.

Semua menoleh pada Reza yang berdiri dengan tatapan tajam yang belum pernah ia tunjukan pada teman-temannya.

Pemuda tersebut langsung menarik tangan Rea untuk mendekat kearahnya.

"Gue nggak nyangka lo sebrengsek itu," ujarnya menunjuk Gilbran.

Tampak Reza berhenti untuk menahan amarahnya yang mungkin saja siap ia keluarkan kapan saja. "Sepupu gue salah apa sama kalian?"

"Reja, udah!"

Persetan dengan amarah Reza. Rea tidak mau jika saudaranya itu yang menyelesaikan masalah ini. Cukup selama ini Reza membantunya sejak dua tahun lalu.

"Gue bisa sendiri, Ja."

Reza menatap Rea mencari keyakinan dari mata gadis itu. Melihat hal yang dicarinya Reza mengangguk lalu mempersilakan gadis itu untuk bicara.

Areanna tampak kecewa lalu ditatapnya teman-teman satu persatu dengan senyum menghiasi wajahnya.

"First of all. Gue ngucapin makasih buat kalian yang selama ini ada buat gue. Walaupun sifat gue yang acuh sama kalian."

"Gue nggak tahu harus ngomong apa disini. Entahlah gue speechless aja dengan kenyataan yang gue terima."

Mata Rea mulai panas, ia berusaha mendongak agar air mata tidak jatuh dan membuatnya terlihat lemah.

"Gue nggak tahu salah gue ke kalian apa aja sampai kalian tega berbuat seperti itu ke gue. Kecewa pasti tapi buat marah sama kalian gue nggak bisa."

Rea mengalihkan tatapannya pada Jesselyn yang menunduk tidak berani menatap saudaranya itu. "Jess, gue tahu sebenci apa lo sama gue sejak pertama kita ketemu. Gue juga masih inget dimana lo bantuin gue saat nyawa gue sekarat."

"Sampai saat ini gue nggak tahu penyebab kenapa lo benci sama gue."

Jesselyn mengangkat kepalanya lalu menatap Rea sendu.

Pandangan Rea beralih pada Gilbran yang menatapnya dengan pandangan meminta maaf membuat Rea tersenyum lalu berjalan mendekat dan memeluk erat pemuda tersebut.

"Aku minta maaf , jika banyak salah sama kamu. Sampai bikin kamu berbuat kaya gini. Aku juga nggak tahu kalo kamu masih ada perasaan sama aku. Yang aku tahu Jesselyn selalu ada buat kamu saat aku melakukan hal yang membuatmu sakit hati."

Rea merasakan pelukan Gilbran yang semakin erat. Ia tahu Gilbran belum bisa melepasnya, tapi hati tidak bisa dipaksa kan?

Selama beberapa menit posisi mereka masih berpelukan, hingga Rea melerai pelukan dan menatap Gilbran dengan senyum yang membuat pemuda itu merasakan sakit di hatinya.

Areanna berbalik dan menatap Gilbert, lalu mendekat dan Rea menyadari bahwa Naya menatapnya berbeda, Rea memilih berhenti tepat dua langkah di depan Gilbert.

Tanpa aba-aba, Gilbret memeluk Rea erat dan mengatakan hal yang membuat air nata yang sejak tadi Rea tahan jatuh begitu saja membasahi kaos hitam yang digunakan Gilbert.

"Aku merindukanmu, Anna."

Rea terisak lalu mempererat pelukannya, "Aku merindukanmu."

Gilbret tersenyum. "Kau tahu, sejak hari dimana aku mengingat semuanya. Melihatmu terbaring ditempat tidur rumah sakit. Aku ingin berlari memelukmu supaya kamu sembuh seperti dulu."

"Maaf, Aku meninggalkan mu lama sekali. Melupakan hal yang berarti bagimu juga bagiku."

"Maaf, Anna. Maaf, aku menghianatimu."

Tangis Rea pecah. Begitu pula jatuhnya setitik air dari mata Gilbert.

Suasana sunyi. Tidak ada yang berbicara. Naya menatap nanar dua insan yang sedang berpelukan dihadapannya.

Gilbret melerai pelukan mereka, lalu mengusap air mata yang membasahi pipi gadisnya itu.

"Masih menungguku?"

Pertanyaa dari Gilbert membuat Rea diam seribu bahasa. Ia tidak bisa menjawabnya saat ini.

Ia menoleh pada Brian yang menatapnya dengan senyum tipis dibibir pria itu.

Rea kembali menatap Gilbret lalu memejamkan mata dan membukanya kembali yang membuat Gilbert tersenyum paham.

Gilbert memeluk Rea sekali lagi, pelukan yang lebih erat dan penuh rasa rindu.

Rea melerai pelukan lalu berjalan mundur dan keluar begitu saja dari kafe, meninggalkan seribu pertanyaan teman-temannya kecuali satu orang, Gilbert Elvano Gutama.


AreannaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang