Kuncup Yang Layu

6.8K 732 16
                                    


Tidak banyak wajah yang terekam dalam hidupku, maka kenapa wajahmu tetap kuingat walaupun seberapa lama waktu berlalu.

Bunga menatap kosong dinding-dinding penjara dalam diam, selama di sini dia terbiasa mengasingkan diri. Dia terbiasa sendiri, berdialog dengan jiwanya sendiri.

Sekarang, ada perasaan yang tidak dia mengerti merambat ke hati. Hatinya resah, wajah itu seolah mencengkram pikirannya.

“Huuhh.” Ujarnya keras.

“Lagi galau?” Tanya rekan penjaranya dan Bunga tidak tahu siapa namanya walaupun mereka bersama-sama cukup lama.

Perempuan yang lebih tua darinya itu hanya menggeleng tanpa memberitahukan namanya walaupun Bunga menatapnya mencoba mengingat.

“Gak usah tahu nama saya, nama kita sudah ada di daftar hitam kriminal, miris sekali.”

Bunga kembali menatap entah kemana, tidak tertarik dengan pembukaan obrolan perempuan paruh baya itu.

“Terbiasa asing?” Tanya perempuan itu lagi.

“Aku terlahir dengan semua itu.” Jawab Bunga kembali menatap manik mata perempuan yang berada di sampingnya.

“Kami dengar kamu anak orang kaya negri ini, kenapa bisa terlibat dalam kerasnya kehidupan? Harunya perempuan cantik dan kaya sepertimu sedang bahagia menjalani hidupmu yang serba cukup.”

Bunga tertawa pelan. “Semua manusia memang bisanya saling menduga satu sama lain, aku tidak mengerti itu kebahagiaan saat jiwaku terkurung ditubuh ini, tubuh yang merasakan semua perasaan yang tidak aku mengerti.”

“Jangan berpikir terlalu sulit, kepalamu bisa sakit. Satu kuncinya, syukuri hidupmu. Saya mulai mengerti syukur disaat terjebak dengan segala hal yang telah saya perbuat. Manusia seperti kita selalu merasa paling dramatis kehidupannya. tapi, enggan melihat ke bawah untuk evaluasi dan intropeksi.” Ujar perempuan paruh baya itu yang kini mengelus rambut coklat Bunga.

Bunga tertegun. “Saya seorang Ibu, yang mungkin putri saya seusiamu sekarang.” Ujarnya sambil menahan laju air matanya.

Bunga membuang pandangannya, tidak ingin bersalaman dengan air mata yang dianggap lumrah oleh sebagian perempuan disaat hatinya rapuh yang tidak ingin dia mengerti sama sekali.

Hari dimana jadwal siraman rohani dari Ustadz itupun tiba, yang ternyata diadakan dua minggu sekali. Selepas shalat Jum’at dan hari Minggu.

Seluruh penghuni penjara sudah duduk rapi di Mesjid. Bunga dia duduk paling belakang. Seperti biasa terdengar salam lelaki itu untuk memulai tausiyahnya tapi kesadaran Bunga langsung hilang, perempuan itu tertidur bersandar di pojokan masjid.

Ayyaz yang sedang memberikan tausiyahnya sambil berdiri, sedikit kesal saat melihat salah satunya tidur sedangkan yang lainnnya mendengarkan antusias.

“Apa dia biasa seperti itu? Perempuan yang tertidur itu?” Tanya Ayyaz kepada para tahanan.

“Biarkan saja Ustadz, gadis itu memang selalu punya dunianya sendiri.” Jawab salah satu tahanan.

Ayyaz mengangguk dan memilih membiarkan. Tapi, di saat Tausiyah matanya sesekali melihat Bunga yang teridur, ada yang aneh dengan reaksi tubuhnya. Karena kesal diapun berjalan ke belakang dan menyuruh tahanan lain membangunkannya.

BungaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang