Senja yang selalu dikaitkan dengan perwakilan sebuah rasa, garis kuning di cakrawala yang membuat suasana hangat dalam dada.
Keindahan langit menuju puncaknya saat sang surya kembali tenggelam di ufuk barat, seolah sinar terakhirnya pun tetap membuat keindahan di bumi ini.
Sepasang anak Adam itu berjalan beriringan, Dengan si perempuan di depan dan lelaki di belakang. Jarak yang teramat jauh. Tapi, ada rasa yang seiring dalam gegapnya detak jantung mereka.
Bunga selalu merasa hidupnya adalah sebuah kesalahan, tumbuh dari sebuah tunas yang menjijikan. Dilingkupi kehidupan yang sarat akan perbedaan.
Dia, tidak punya siapa pun selain mereka. Tapi, ikatan itu tidak membawa dampak apapun dalam kehidupan keluarga mereka.
“Aku terlahir dari hasil Zina, Bagaimana Mamaku menyuruh memilih seorang Ayah kepadaku. Dan aku menunjuk seorang lelaki yang begitu mirip denganku. Saat semua keadaan terpampang jelas, Kamu tahu apa yang dirasakan perempuan yang masih kecil saat itu? Hatiku tak berbentuk, Air mata pun tidak kujadikan pilihan untuk meluruhkan beban yang ada.” Cerita Bunga sambil menatap rel kereta api yang lengang.
Ayyaz berdiri tidak jauh di belakang Bunga, menatap senja yang kemuning.
“Aku mencari segala sesuatu yang membuat keingin tahuanku puas, Agamamu, Agama mereka, Aku mencarinya. Aku ingin mencari jawaban kenapa aku terlahir dalam ketidak jelasan. Aku menampik semua peraturan yang dibuat manusia, aku mau hidup sesukanya, selalu merutuk langit kenapa aku tidak terlahir sebagai bunga saja bukan Bunga yang memiliki jiwa yang rentan terluka.”
“Kamu tahu, ada sebaris kata yang membuatku pias “Tidak dapat masuk surga anak hasil Zina.” Membaca sebaris ungakapan itu, hatiku tak baik. Pemilik semesta ini pun tidak menginginkanku. Semua kacau, Aku ingin marah. Tapi, ada seorang lelaki yang berucap santun menjelaskan. Kiraku, itu hanya pemahamanku di permukaan, maka dari itu kenapa aku selalu melihatmu karena kupikir kamulah yang Pemilik semesta ciptakan untuk menjelaskan segala yang butuh kejelasan.”
Ayyaz menunduk malu, Ada semburat merah yang dia sembunyikan. Hatinya lumer karena sebuah penjelasan dari mulut gadis ini. Sesederhana itu. Tapi, efeknya begitu mengesankan.
“Ungkapan yang kamu utarakan hadits maudhu atau palsu, Allah tak pernah melepaskan sifat Rahmannya. Tak pernah membuang wajah dari hambanya yang masih mengingat akan Rahman dan Rahimnya.”
Bunga mengukir senyum, kemuning wajahnya tertimpa warna senja. Kereta pun lewat dan membuat jeda percakapan ini. Setelah gaduh kereta tak lagi terdengar lantunan suara yang membacakan ayat suci begitu menentramkan.
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (Al-an’am : 164) Berkaitan dengan statusnya anak itu dia seperti halnya orang lain, kalau taat kepada Allah dan beramal shaleh Insya Allah kebaikan yang dia dapat dan jika sebaliknya, Keburukan yang dia dapat. Aku akan membimbingmu untuk mendapat kejelasan hidup dan indahnya keimanan kepada Rabb kita, Insya Allah.”
Bunga tersenyum begitu indahnya tertangkap sang surya yang akan berpulang, percakapan sore hari itu. Di samping rel kereta api membuat kemantapan Ayyaz untuk meminta izin kepada orang tuanya.
Begitupun dengan Bunga.
“Dia muslimah yang taat?” Tanya Abi sekali lagi.
“Iya Abi.” Jawab Ayyaz, ini bukan sebuah kebohongan. Tapi, diharapkan menjadi sebuah do'a yang menentramkan.
“Kapan kita bisa menemuinya?” Tanya Umi, mereka masih tinggal di Jakarta walaupun proses ta’aruf dengan Hafsah kandas.
“Lusa, Umi. Mereka mengajak bertemu di restoran milik keluarga mereka.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga
SpiritualKini bisa dibaca di Kubaca dan IcanNovel (COMPLETED) Bunga yang tidak seperti Bunga di Taman. Membutuhkan pengiring langkah untuk masa depannya.