Bunga

6.3K 758 21
                                    

Bunga yang rekah mempunyai kelopak yang rapuh walaupun keindahannya mampu memberi pengobat bagi jiwa-jiwa yang menyukai akan keindahan.

Di saat mentari baru mengintip di ufuk timur. Embun membuat basah seluruh dedaunan, berkilauan tanda mentari kian merangkak naik ke atas langit.

Bunga sudah meninggalkan rumah pinggir rel kereta apinya, meninggalan anak-anaknya barang sebentar menuju kediamannya kembali.Untuk membenahi sifatnya yang keterlaluan kepada orang tuanya sendiri dengan selalu berbuat ulah.

Pintu rumah besar itu terbuka lebar saat dirinya sudah sampai di sana. Pembantu rumahnya menyambutnya dengan gembira.

“Mamah dan Ayah belum bangun Bi,?”

“Belum, non. Mungkin sebentar lagi turun. Bibi sudah siapkan sarapan.”

Bunga langsung duduk di meja makan dan benar tidak berapa lama Mamahnya turun dengan masih memakai baju tidur. Melihat putrinya duduk di meja makan dia bergegas menuruni anak tangga.

“Butuh uang lagi?” Tanyanya to the point.

“Enggak, Bunga hanya rindu aja pada kalian.”

“Rindu? Siapa yang mengajarimu perasaan murahan itu.” Timpal Mamahnya langsung menyendok nasi goreng yang sudah disediakan.

Bunga hanya diam, biasanya dia suka menimpali dengan ucapan sisnisnya.

“Ayah belum bangun, Ma?”

“Tidak tahu, gak peduli juga perihal itu.”

Mamahnya Bunga kini mengotak-ngatik handponenya dan tiba-tiba memphoto Bunga.

“Cantik, Mamah ajarkan cara hidup senang tanpa capai bekerja, Ada yang menyukaimu pengusaha besar negri ini. Ayahmu tidak ada apa-apanya. Namanya Subagjo duda kaya, dia meminta mamah untuk menjodohkan dirinya denganmu.”
Bunga hampir tersedak sarapannya sendiri.

“Sekarang, jangan keluyuran dulu, ikut Mama menemui dia nanti jam makan siang.”

“Tapi, Ma.”

“Tidak ada tapi.”

Bunga menghela, dia ingin memperbaiki semuanya. Mengenal lebih dekat Ayah dan Mamanya. Ayahnya pun turun dengan pakaian yang sudah rapi, rambut coklat itu tersisir rapi. Mata coklatnya menatap mata Bunga yang sama dengan miliknya.

Senyuman tampan dan berwibawa itu tersenyum, walaupun Bunga suka ingat betapa buruk perilaku Ayahnya sebagai seorang Ayah, bermain dengan wanita tanpa melihat Bunga meringis melihat itu. Kali ini dia ingin mencoba menerima.

“Sayang, senang kamu duduk dimeja makan lagi bersama kami.” Antonio memeluk putrinya itu dan mengecup ubun-ubunnya.

“Mencium putrimu dengan bibir yang sudah penuh oleh ratusan merk lipstick wanita, Menjijikan!” Timpal Mamanya santai.

“Cemburu, nyonya Antolin?”

“Cih, Cemburu? Bahkan perasaan cinta untukmu pun tidak ada. Aku hidup di sini karena kau harus bertanggung jawab dengan apa yang kau lakukan padaku dahulu.”

Bunga terdiam, Antonio terlihat menutup matanya menahan kekesalannya.

“Jika kamu menyuruhku berhenti, aku akan berhenti.”

Mamanya Bunga tertawa. Berlalu tanpa mau peduli. Untuk sesaat Bunga melihat tatapan sendu ayahnya, mata coklat yang biasanya tajam itu redup saat istrinya tidak menimpali apapun. Ada apa dengan mereka? Ada apa dengan kehidupan mereka sebelumnya? Sehingga membuat keluarga kacau balau seperti ini.

“Bunga, hari ini ikut Mama. Jangan kemana-mana.” Teriak Mamanya di atas tangga.

“Kamu tahu Bunga, dalam semua hubungan ini, Ayah senang dia selalu menyebut dirinya Mama kepadamu.” Ujar Ayahnya menelan sarapannya susah payah dan berlalu setelah memeluk Bunga erat.

BungaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang